contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Jumat, 18 Desember 2009

Kondisi Umum Hutan di Prop. DI Yogyakarta

Luas kawasan hutan negara di Propinsi DIY mencapai 16.819,52 Ha atau 5,36 % dari luas wilayah, yag terdiri atas hutan produksi 13.851,28 Ha, hutan lindung 2.057,90 Ha dan hutan konservasi 910,34 Ha (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 171/Kpts-II/2000, tanggal 29 Juni 2000). Hingga saat ini hutan di Propinsi DIY telah memberikan kontribusi yang penting dalam pembangunan daerah dan masyarakat, antara lain dalam bentuk peningkatan pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, pemenuhan bahan baku industri, serta jasa lingkungan.
Seiring perjalanan waktu, hutan negara banyak mengalami kemunduran (aforestasi), baik yang disebabkan alam, maupun karena kegiatan manusia, seperti pencurian/perencekan, penjarahan, dan kebakaran. Kondisi demikian dapat dimaknai sebagai semakin terbatasnya sumberdaya hutan. Hutan negara di wilayah Propinsi DIY mempunyai batas-batas langsung bersinggungan dengan tanah milik/pemukiman rakyat (batas luar) sepanjang 391,85 Km. Dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang relatif rendah, pola pencarian agraris, serta kepemilikan lahan yang sempit, semakin mempertinggi tekanan terhadap kawasan hutan. Oleh karena itu, guna mewujudkan hutan yang lestari secara berkelanjutan, diperlukan pemikiran dan tindak lanjut.

Hutan Produksi

Kawasan hutan produksi di propinsi DIY seluas 13.851,28 ha, terletak di Kabupaten Gunung Kidul seluas 12.026,95 ha, Kabupaten Kulon Progo seluas 6.01,6 ha, dan Kabupaten Bantul seluas 510,3 ha. Komoditi kehutanan yang saat ini dikembangkan pada areal hutan negara adalah : Jati, Mahoni, Sonokeling, Albasia, Kesambi, Sungkai, Jaranan, Kemiri, Kenanga, Kayu Putih dsb.

Hutan Lindung

Kawasan hutan lindung di propinsi DIY seluas 2.057,90 ha, terletak di Kabupaten Sleman seluas 1.446,65 ha, Kabupaten Gunung Kidul seluas 590,35 ha dan Kabupaten Kulonprogo seluas 254,90 ha. Namun demikian hutan lindung di Kabupaten Sleman telah masuk dalam Taman Nasional Gunung Merapi, sehingga pengelolaan hutan lindung di Dishutbun Propinsi DIY tinggal di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulonprogo. Hutan lindung di Kabupaten Gunung Kidul meliputi petak 105, 106, 107, 61, 62, 63 dan sebagian petak 64 seluas 16,75 ha, sedangkan di Kabupaten Kulonprogo meliputi petak 25, 26, 27, 28, 29, 30 dan sebagian petak 24 seluas 5,5 ha. Hutan lindung di Kabupaten Bantul berada di RPH Mangunan dan RPH Ndlingo. Sampai saat ini hutan lindung tersebut masih dikelola seperti fungsi hutan yang lain dan masih menggunakan kelembagaan yang ada di Dishutbun DIY.

a. Hutan Lindung di Kabupaten Gunung Kidul

Kawasan hutan ini masuk dalam wilayah pengelolaan RPH Kedungwanglu, BDH Paliyan, dan RPH Candi, BDH Karangmojo. Kondisi vegetasi hutan lindung di RPH Kedungwanglu sebenarnya merupakan tanaman jati yang bercampur sono keling di petak 105 dan jati dengan campuran Acasia mangium, dan kayu putih di petak 107, sementara hanya berupa tanaman jati di petak 106. Kondisi tanaman hutan berkerapatan rendah dan masuk dalam katagori bertumbuhan kurang dengan tanaman berdiameter kecil. Oleh karena itu kawasan ini telah dilaksanakan penanaman jati dengan program GNRHL untuk tahun 2003 dan 2004, yaitu 52 ha di petak 105 tahun 2003, 23 ha di petak 106 tahun 2004 dan 30 ha di petak 107 tahun 2004 dan 38 ha tahun 2004. Sementara itu kondisi hutan lindung di RPH Candi juga dalam keadaan yang bertumbuhan kurang, sehingga dilakukan program penanaman melalui proyek GNRHL sejak tahun 2003 dan 2004 dengan tanaman jati yang sebagian dicampur dengan mahoni, dan acasia.

b. Hutan Lindung di Kabupaten Kulonprogo

Kawasan hutan lindung di Kabupaten Kulonprogo ini masuk dalam wilayah pengelolaan RPH Sermo, BDH Kulonprogo. Kondisi vegetasi hutan lindung sebenarnya merupakan tanaman campuran berbagai jenis tanaman antara lain adalah jati, acasia, pinus, kenanga, acasia, we, sono keling, dan kemiri yang luasannya sangat bervariasi, yang ditanam sejak tahun 1972 sampai tahun 1999. Kondisi tanaman hutan berkerapatan rendah, dengan pertumbuhan yang kurang baik sampai dengan jelek.

c. Hutan Lindung di Kabupaten Bantul

Kawasan hutan lindung di Kabupaten Bantul berada di RPH Mangunan yang meliputi RPH Mangunan yang mencakup Blok Terong, Blok Sudimoro, Blok Gumelem dan Blok Kediwung. Selain itu jg terdapat di RPH Dlingo yang mencakup Blok Kaling, Blok Kebosungu, Blok Kayumas, Blok Dodogan, Blok Banyuurip, Blok Ceme.

Taman Nasional Gunung Merapi

Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) secara geografis terletak di koordinat 110° 15’ 00” BT – 110° 37’ 30” BT dan 107° 22’ 30” LS -07° 52’ 30” LS yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Provinsi Jawa Tengah. Kawasan Gunung Merapi terletak pada ketinggian antara 600 m dpl sampai dengan 2968 mdpl. Wilayah TNGM seluas 6.410 ha, terdiri dari 1.283,99 ha atau 20% kawasan hutan yang terletak di Propinsi DIY dan 5,126,01 ha atau 80% terletak di Propinsi Jawa Tengah.

Status kawasan hutan yang terletak di Propinsi DI Yogyakarta tersebut sebelumnya merupakan Hutan Lindung Merapi dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DI Yogyakarta dan Cagar Alam Plawangan Turgo yang dikelola oleh BKSDA DI Yogyakarta. Selain itu, terdapat sekitar 10 Ha hutan penelitian yang dikelola Badan Litbang, Departemen Kehutanan yang terdiri atas koleksi jenis pohon asing (exot) dan famili pinaceae.

Karakteristik topografi wilayah TNGM dan sekitarnya di Kabupaten Sleman DIY :

* Mulai landai hingga lahan yang memiliki kelerengan sangat curam dengan ketinggian 100 – 1.500 m dpl.
* Dibagian paling utara merupakan lereng Gn. Merapi yang miring ke arah Selatan. Di lereng selatan Gn. Merapi terdapat dua bukit yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang. Di bagian lereng puncak Merapi reliefnya curam sampai sangat curam.
* Bagian selatan dari ketiga kecamatan (Turi, Cangkringan, Pakem) masih berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik. Sedangkan bagian tengah berupa lahan kering dan paling utara merupakan bagian dari lereng Gn. Merapi yang berupa hutan.

Taman Hutan Raya Bunder Playen

Kerusakan alam juga melanda kawasan Hutan Bunder yang terletak di Desa Gading, Kecamatan Playen. Usaha penghijauan kembali kawasan Gunung Kidul dilakukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY bersama UGM tahun 1966, berawal dari program reboisasi Hutan Wanagama I. Wilayah Hutan Bunder tak luput dari usaha tersebut.Tahun 2004, fungsi Hutan Bunder seluas 617 hektar sebagai hutan produksi diubah menjadi kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) untuk tujuan penelitian, budidaya, pariwisata, budaya, dan rekreasi. Kini hamparan hijau pohon rimba tumbuh rindang dan memberikan kesejukan udara di Tahura Bunder. Aroma khas tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra) sebagai ekosistem utama di hutan itu, serta kicauan cucak kutilang (Picnonotus aurigaster) dan kepodang (Oriolus chinensis) menjadikan lokasi ini nyaman ketika berkendara melintasi Jalan Raya Wonosari-Yogya.

Di “rest area” Tahura Bunder, pengunjung dapat beristirahat sambil menikmati mi hangat atau menyantap sayur lombok hijau dan beras merah - makanan khas Gunung Kidul - di sejumlah warung makan milik penduduk setempat. Jalan selebar empat meter di antara arena bermain dan area parkir menjadi pintu masuk jalur wisata alam kawasan Tahura Bunder. Sekitar 1,5 km dari jalur masuk yang terletak di sisi selatan Sungai Oyo, pengunjung akan mencapai unit persemaian bibit tanaman Tahura Bunder seluas lima hektar. Bibit yang dikembangkan antara lain tanaman jati, mahoni, kayu putih, sukun, dan jambu mete, untuk program reboisasi dengan produksi sedikitnya dua juta bibit per tahun.

Di sebelah timur area persemaian terdapat penangkaran rusa timor (Cervus timorensis) seluas enam hektar. Sekitar 1,5 km ke arah selatan dari kawasan penangkaran rusa, pengunjung dapat melihat penyulingan minyak kayu putih di pabrik yang berdiri tahun 1980-an. Lebih kurang 500 meter ke arah selatan terdapat lokasi “camping ground” Tahura Bunder, yang berada di antara pohon jati. Setelah menikmati wisata alam di Tahura Bunder, sebagai cendera mata, pengunjung dapat membeli madu hasil peternakan lebah masyarakat setempat.

Cagar Alam Gamping

Cagar Alam (CA) Gunung Gamping di Propinsi D.I. Yogyakarta memiliki luas 1.084 Ha. Kawasan konservasi ini terletak di Desa Ambar Ketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Resort Kaliurang. Cagar Alam tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 758/Kpts-II/1989 tanggal 16 Desember 1989.

CA Gunung Gamping mempunyai nilai sejarah penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pesanggrahan di Ambar Ketawang yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, yaitu ketika kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat didirikan. Di kawasan ini dilangsungkan upacara adat Saparan (Bekakak) di setiap bulan Sapar atau Mei.

Nilai penting ditetapkannya kawasan ini sebagai cagar alam adalah untuk melindungi fenomena geologi. Ahli geologi Verbeek dan Fennema 1896 menyatakan bahwa di daratan Pulau Jawa hanya terdapat 1/2% singkapan batuan berumur Eosen (38 - 54 Juta tahun). Salah satu singkapan batuan tersebut antara lain terdapat di Yogyakarta, dimana sisa-sisanya saat ini berupa endapan batu gamping yang ditunjuk pada tahun 1982 dan selanjutnya ditetapkan dengan SK. Menhut pada tahun 1989 sebagai cagar alam. Berdasarkan penelitian Prof. Gerth tahun 1929 dan Purnamaningsih tahun 1972, sampel dari batu gamping tersebut ditemukan fosil-fosil binatang laut dari jenis Goraminifera yang berupa: Pellatispera orbitoidea, Discocyclina dispansa, dan Nummulites gerthi.

Temuan tersebut memperkuat kesimpulan bahwa endapan gamping di Ambarketawang benar-benar berasal dari zaman eosen, karena endapan ini terbentuk pada kondisi laut dengan tumbuhan karang pada zaman eosen. Oleh karena itu, perlindungan zaman eosen di CA Gunung Gamping sangat penting bagi ilmu pengetahuan, termasuk hubungannya dengan sejarah pertumbuhan dan pembentukan Pulau Jawa.

Hutan Pendidikan dan Penelitian Wanagama I

Pada tahun 1926, hutan-hutan alam di daerah Gunung Kidul telah habis ditebang, selanjutnya tahun 1927 pernah dicoba penanaman jati, namun pada tahun 1948 telah kosong kembali. Percobaan penanaman tahun 1954 - 1958 pun tidak berhasil dengan baik. Pada tahun 1963 mulai ditanami murbai yang direncanakan dicampur dengan pinus.

Pada tahun 1967, Dinas Kehutanan menyerahkan pengelolaan petak 5 seluas 79,9 Ha kepada Fakultas Kehutanan UGM untuk dikelola atau dihutankan kembali, dan diberi nama “Wanagama I”.

Pada tahun 1982, luas Wanagama I dimekarkan menjadi 599,7 Ha yang terdiri dari petak 5, 6, 7, 13, 14, 16, 17, dan 18. Petak 6 dan 7 terletak di Kecamatan Patuk dan petak-petak lainnya masuk wilayah Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul.

Misi yang diemban Wanagama I adalah :

* Wanagama I sebagai hutan pendidikan dan penelitian
* Wanagama I sebagai hutan percontohan
* Wanagama I sebagai wahana penyuluhan
* Wanagama I sebagai hutan wisata dan wisata ilmiah

Dari keempat misi tersebut, saat ini sebagian besar telah terwujud. Di bidang penelitian dan pendidikan, Wanagama I telah mencetak berpuluh sarjana kehutanan, baik S1, S2, maupun S3.

Di bidang penelitian, Wanagama I menjadi pusat uji genetik dan sumber benih, antara lain:
Uji coba Acacia Sp

* Tegakan benih Acacia mangium
* Uji provenens E. mophylla
* Uji keturunan E. mophylla
* Uji provenens Pinus merkusi
* Tegakan benih Caliandra callothyrsus
* Uji species kayu bakar
* Uji keturunan T. grandis
* Uji provenus T. grandis

Sebagai tempat percontohan lahan kritis, penyuluhan, dan wisata ilmiah, Wanagama I menjadi kajian studi banding dari Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, Mahasiswa, anak sekolah, pramuka, dan tamu-tamu dari luar negeri. Sejak tahun 1987, Wanagama I bekerja sama dengan Mayasari dan Sanggar Bambu membuat paket wisata hutan sehari, dalam rangka menggalakkan bidang wisata berwawasan lingkungan.

Proyeksi pembangunan Wanagama I di masa yang akan datang adalah:

* Sebagai pensuplai benih unggul pohon-pohon hutan ke berbagai wilayah Indonesia.
* Mereboisasi daerah-daerah lain yang pedoklimaksnya setipe dengan Wanagama I (Bali, NTB, NTT, Sulteng), agar dapat lebih berhasil.

Hutan Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa (sedang dalam proses)

0

0 komentar:

Posting Komentar

Followers