contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Sabtu, 26 Desember 2009

Seperti biasanya koorporasi (perusahaan) besar dan padat modal, selalu menggusur lahan warga tanpa harus pamit. Apalagi mereka telah memegang izin dari pemerintah setempat. Mereka selalu beranggapan setiap jengkal tanah adalah milik pemerintah. Tanpa menyadari ribuan tahun sebelum adanya pemerintahan tanah-tanah itu dimiliki oleh masyarakat adat. Setelah adanya Negara, tanah milik masyarakat adat itu mestinya diakui, karena mereka juga warga Negara yang perlu diakui hak-haknya. Tapi entah mengapa pemrintah lebih suka memberikannya kepada orang lain, ketimbang digarap warganya sendiri.

Hal itulah yang dialami warga Kampung Tembiruhan, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang Kaliman-tan Barat. Sore itu Luntur (38), warga Tembiruhan, sedang berada di Lakau (ladang). Ia merasakan sesuatu yang tidak biasa, tanah bergetar, pepohonan bergoyang dan terdengar suara mesin raksasa. Luntur mendekati sumber suara itu, getaran keras itu ternyata dari sebuah buldozer yang sedang menyapu bersih lakau muda ( bekas ladang yang masih muda) di perbatasan Kampung Tembiruhan dan Kampung Sumanjawat.

Alat berat ini diketahui milik sebuah perusahaan kelapa sawit. Padahal Masyarakat Dayak setempat tidak pernah menerima kehadiran perkebunan kelapa sawit di kampung mereka. Luntur yang kaget adanya penggusuran liar ini menemui Terukun (44) warga Kampung Tembiruhan. Berdua mereka bergegas memberitahu orang kampung dan Ketua RT setempat.

Mendengar adanya penggusuran liar di kampung mereka , sejumlah warga dari Tembiruhan, terdiri dari Damung Adat, Kepala Dusun, pemuda, serta para tokoh adat langsung menuju lokasi yang digusur. Mereka langsung menghentikan penggusuran dan menahan buldozer. “Kami menuntut perusahaan atas perlakuan biadab asal gusur seperti ini,” tegas Bidau, Damong Adat Tembiruhan yang juga berada di lokasi. Lalu mereka menyita kunci buldozer untuk dijadikan alat bukti yang ternyata milik PT Fangiono Agro Plantation, sebuah perusahaan perkebunan sawit.

Pada hari itu hukuman adat pun dijatuhkan ke perusahaan yaitu hukum adat Tanggul Tanah Arai yaitu hukuman karena merusak hutan, tanah dan air. Hukuman tersebut terdiri dari 1 buah kelinang, 1 buah ketawak (gong), kain sekayuq, tombak sepucuq serta 1 buah tajau (tempayan). Pihak perusahaan diwakili Humasnya, Aling, , yang menerima sangsi adat sepakat membayar esok harinya, 10 September 2008.

Pada tanggal yang dijanjikan, PT Fangiono membangkang, pihak perusahaan malah mendatangkan pihak Camat, Kapolsek, Danramil serta sejumlah anggota polisi untuk menggertak warga. Tapi Masyarakat Adat Tembiruhan sama sekali tidak gentar. “Siapa pun yang datang hukum tetap ditegakkan,” kata Bidau. Hal senada diutarakan, Asmano, Kepala Desa Tembiruhan. “Silakan mereka datang bersama siapa saja, sedikit pun kami tidak merasa takut karena kami menuntut hak dan kami berada di pihak yang benar,” tambahnya.

Sebagaimana dituturkan warga pada Majalah Kalimantan Review (KR), kehadiran ’armada’ PT Fangiono bersama antek-anteknya tidak berpengaruh karena masyarakat teguh dengan pendirian serta sikap menolak kehadiran perusa-haan apa pun di wilayah adat mereka. Melihat masyarakat yang teguh pada pendiriannya, pihak perusahaan terpaksa mengalah dan berjanji akan membayar denda adat tanggal 13 September 2008.

Akhirnya pihak perusahaan bersama orang-orang bayarannya kembali ke kecamatan tanpa bisa berbuat banyak. Pada tanggal 13 September PT Fangiono melalui Aling menepati janjinya karena warga mengancam menggandakan hukuman lebih berat bila ingkar janji tak. Aling menyerahkan denda adat kepada Damong Adat Tembiruhan. Setelah kejadian tersebut, kampung yang telah beberapa kali melakukan penolakan ini tidak pernah lagi diganggu atau diusik perusahaan.

“Wilayah adat kami sudah sempit, tanah yang ada kami pakai untuk berladang dan berkebun karet, jadi jangan coba-coba mengusik wilayah kami. Kami akan berjuang mempertahankan wilayah adat kami sampai mati,” sergah Bidau.

Hukuman adat juga dijatuhkan terhadap PT. Agra Mas. Perusahaan pertambangan biji besi ini diganjar adat karena memasuki lahan milik warga tanpa izin. Hari itu di hutan Bukit Bebasian, Kampung Teluk Runjai dimasuki orang tak dikenal ditemani warga kampung setempat. Warga lain yang curiga langsung membututi orang asing itu, yang dibuntuti ternyata tim survey PT. Agra Mas yang berencana melakukan kegiatan pertambagan.
Warga mendapati tim survey sedang memancang patok di lahan seorang warga. Pemilik lahan langsung menyita peralatan survey dan melaporkannya kepada Damung Adat dan Ketua RT setempat.

Setelah dilakukan sidang adat, perusahaan tambang biji besi itu dijatuhi pasal berlapis. Kesalahan utama perusahaan ini adat merusak dan tanpa pamit. Hukum adat merusak lebih dikenal dengan Pancung Papat Pajuh Bilai dan hukum adat masuk tanpa permisi adalah Langkah Batang Lampat Tunggul.

Pelanggaran Hukum Adat ini dituntut sebesar 15 di atas, pertama, 1 buah Tajau (tempayan) ditambah 2 buah piring. Kedua terkena hukuman Pancung Papat pajuh Bilai yaitu hukum-an yang diberikan kepada orang atau sekelompok orang karena telah meru-sak tanaman dan tumbuhan, dendanya sama dengan yang pertama. Hukuman ketiga adalah melanggar adat Kampung Tanjung. Adat yang ketiga ini sebesar 1 lasak (1 buah tajau) yang menjadi hak benuaq (kampung). Keempat, akibat perusakan hutan tanah dan kerugian yang dialami Bayer selaku pemilik lahan, maka PT Agra Mas juga dituntut denda adat senilai kerugian yang ditimbulkannya.
badri

1 komentar:

  • Handy Eka on 26 Desember 2009 pukul 22.47

    ada juga hukuman dari setempat ya?

  • Posting Komentar

    Followers