contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Jumat, 18 Desember 2009

Hutan Sulawesi Terkikis

Aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan sawit untuk bio-fuel di sejumlah wilayah di Sulawesi kian hari kian mengikis kawasan hutan dan areal pertanian.Hal ini bukan hanya menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang berdampak kian seringnya bencana terjadi. Lebih dari itu, juga menjadi penyebab proses pemiskinan akibat banyaknya petani yang kehilangan lahan dan kehilangan investasi pemerintah di sektor pertanian dan kehutanan.
Hal ini mengemuka dalam Temu Komunikasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Sulawesi di Palu, Kamis (17/7). Pertemuan diikuti sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan perwakilan pemerintah dari instansi terkait, dari enam provinsi di Sulawesi.
”Persoalan besar di hampir semua wilayah di Sulawesi saat ini adalah pertambangan dan pembukaan kebun sawit untuk bio feul. Dengan alasan wilayah Sulawesi punya potensi tambang dan areal yang besar, peningkatan pendapatan daerah dan penyerapan tenaga kerja, izin dan kuasa pertambangan terus diberikan. Padahal sebagian besar areal pertambangan dan kebun sawit, berada di hutan dan lahan pertanian masyarakat. Dampaknya, bukan hanya merugi akibat kerusakan lingkungan, tapi juga terutama pada masyarakat khususnya petani yang kehilangan lahan yang menjadi sumber penghidupan,” kata Sri Hardiyanti, Direktur Eksekutif Lestari.
Persoalannya kata Hardiyanti, kerusakan yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan sawit, tidak sebanding dengan apa yang diperoleh. Sebagai contoh adalah berkurangnya debit air di dua bendungan besar di Bolaang Mogondow, Sulawesi Utara yakni Kasinggolan dan Toraut. Hal ini disebabkan pengggunaan air untuk pengolahan bijih emas dan pembukaan daerah tangkapan air.
Kalau awalnya tahun 1986, debit air Bendungan Kasinggolan sembilan m3/detik, kini tinggal lima m3/detik. Sementara di Bendungan Toraut dari 12 m3/detik kini tinggal enam m3/detik bahkan menjadi dua m3/detik di musim kemarau panjang. Kedua bendungan diharapkan menyuplai sekitar 12.381 ha areal persawahan milik 8.988 petani. ”Kekurangan debit ait menyebabkan panen yang biasanya tiga kali setahun menjadi dua kali. Kehilangan satu musim, setiap petani merugi hingga Rp 8 juta atau total Rp 71,9 miliar dari keseluruhan petani. Nilai ini setara dengan tujuh kali lipat PAD Bolaang Mongondow yang hanya sekitar Rp 9,9 miliar di tahun 2006. Ini belum termasuk ancaman krisis pangan mengingat Bolaang Mongondow adalah lumbung beras Sulawesi Utara,” jelas Yanti.
Di Minahasa, sekalipun pemerintah daerah tidak mengeluarkan izin, tapi pemerintah pusat memberi izin pada PT Meares Soputan Mining di areal seluas 741.125 ha di Likupang, Minahasa Utara.
Lain lagi di Gorontalo dimana Pemerintah setempat mencoba menukar 110.000 ha dari total 287.115 ha areal Taman Nasional Bogani Nani Wartabone untuk dijadikan areal pertambangan. Padahal di taman nasional ini terdapat Cagar Alam Tangkoko Batu Angus, Cagar Alam Gunung Lokon, Kawasan Lindung Toka Tindung, dan kawasan hutan lindung lainnya. Ini akan membuat bencana banjir di Gorontalo kian besar dari tahun ke tahun.
Sementara itu di Sulawesi Barat, dengan alasan eksplorasi seismik untuk tambang minyak di perairan Selat Makassar khususnya di Majene dan Mamuju, nelayan setempat dilarang melaut. ”Padahal selain jadi sulit untuk melaut, nelayan setempat juga tidak mendapat kejelasan soal ganti rugi investasi mereka di laut seperti rumpon dan bagang,” jelas Ikhsan Welli, Direktur Yan Marindo. Menurut Hardiyanti, mengingat kerugian yang dialami akan jauh lebih besar dari keuntungan yang dijanjikan sektor pertambangan dan kebun sawit, pemerintah harusnya mau melihat persoalan ini secara lebih terbuka. ”Demi kepentingan masyarakat, lingkungan, dan investasi pemerintah sendiri, harusnya izin pertambangan dan pembukaan kebin sawit diberikan secara hati-hati dan memikirkan dampaknya secara luas,” kata Hardiyanti.

0

0 komentar:

Posting Komentar

Followers