contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Sabtu, 26 Desember 2009

Seperti biasanya koorporasi (perusahaan) besar dan padat modal, selalu menggusur lahan warga tanpa harus pamit. Apalagi mereka telah memegang izin dari pemerintah setempat. Mereka selalu beranggapan setiap jengkal tanah adalah milik pemerintah. Tanpa menyadari ribuan tahun sebelum adanya pemerintahan tanah-tanah itu dimiliki oleh masyarakat adat. Setelah adanya Negara, tanah milik masyarakat adat itu mestinya diakui, karena mereka juga warga Negara yang perlu diakui hak-haknya. Tapi entah mengapa pemrintah lebih suka memberikannya kepada orang lain, ketimbang digarap warganya sendiri.

Hal itulah yang dialami warga Kampung Tembiruhan, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang Kaliman-tan Barat. Sore itu Luntur (38), warga Tembiruhan, sedang berada di Lakau (ladang). Ia merasakan sesuatu yang tidak biasa, tanah bergetar, pepohonan bergoyang dan terdengar suara mesin raksasa. Luntur mendekati sumber suara itu, getaran keras itu ternyata dari sebuah buldozer yang sedang menyapu bersih lakau muda ( bekas ladang yang masih muda) di perbatasan Kampung Tembiruhan dan Kampung Sumanjawat.

Alat berat ini diketahui milik sebuah perusahaan kelapa sawit. Padahal Masyarakat Dayak setempat tidak pernah menerima kehadiran perkebunan kelapa sawit di kampung mereka. Luntur yang kaget adanya penggusuran liar ini menemui Terukun (44) warga Kampung Tembiruhan. Berdua mereka bergegas memberitahu orang kampung dan Ketua RT setempat.

Mendengar adanya penggusuran liar di kampung mereka , sejumlah warga dari Tembiruhan, terdiri dari Damung Adat, Kepala Dusun, pemuda, serta para tokoh adat langsung menuju lokasi yang digusur. Mereka langsung menghentikan penggusuran dan menahan buldozer. “Kami menuntut perusahaan atas perlakuan biadab asal gusur seperti ini,” tegas Bidau, Damong Adat Tembiruhan yang juga berada di lokasi. Lalu mereka menyita kunci buldozer untuk dijadikan alat bukti yang ternyata milik PT Fangiono Agro Plantation, sebuah perusahaan perkebunan sawit.

Pada hari itu hukuman adat pun dijatuhkan ke perusahaan yaitu hukum adat Tanggul Tanah Arai yaitu hukuman karena merusak hutan, tanah dan air. Hukuman tersebut terdiri dari 1 buah kelinang, 1 buah ketawak (gong), kain sekayuq, tombak sepucuq serta 1 buah tajau (tempayan). Pihak perusahaan diwakili Humasnya, Aling, , yang menerima sangsi adat sepakat membayar esok harinya, 10 September 2008.

Pada tanggal yang dijanjikan, PT Fangiono membangkang, pihak perusahaan malah mendatangkan pihak Camat, Kapolsek, Danramil serta sejumlah anggota polisi untuk menggertak warga. Tapi Masyarakat Adat Tembiruhan sama sekali tidak gentar. “Siapa pun yang datang hukum tetap ditegakkan,” kata Bidau. Hal senada diutarakan, Asmano, Kepala Desa Tembiruhan. “Silakan mereka datang bersama siapa saja, sedikit pun kami tidak merasa takut karena kami menuntut hak dan kami berada di pihak yang benar,” tambahnya.

Sebagaimana dituturkan warga pada Majalah Kalimantan Review (KR), kehadiran ’armada’ PT Fangiono bersama antek-anteknya tidak berpengaruh karena masyarakat teguh dengan pendirian serta sikap menolak kehadiran perusa-haan apa pun di wilayah adat mereka. Melihat masyarakat yang teguh pada pendiriannya, pihak perusahaan terpaksa mengalah dan berjanji akan membayar denda adat tanggal 13 September 2008.

Akhirnya pihak perusahaan bersama orang-orang bayarannya kembali ke kecamatan tanpa bisa berbuat banyak. Pada tanggal 13 September PT Fangiono melalui Aling menepati janjinya karena warga mengancam menggandakan hukuman lebih berat bila ingkar janji tak. Aling menyerahkan denda adat kepada Damong Adat Tembiruhan. Setelah kejadian tersebut, kampung yang telah beberapa kali melakukan penolakan ini tidak pernah lagi diganggu atau diusik perusahaan.

“Wilayah adat kami sudah sempit, tanah yang ada kami pakai untuk berladang dan berkebun karet, jadi jangan coba-coba mengusik wilayah kami. Kami akan berjuang mempertahankan wilayah adat kami sampai mati,” sergah Bidau.

Hukuman adat juga dijatuhkan terhadap PT. Agra Mas. Perusahaan pertambangan biji besi ini diganjar adat karena memasuki lahan milik warga tanpa izin. Hari itu di hutan Bukit Bebasian, Kampung Teluk Runjai dimasuki orang tak dikenal ditemani warga kampung setempat. Warga lain yang curiga langsung membututi orang asing itu, yang dibuntuti ternyata tim survey PT. Agra Mas yang berencana melakukan kegiatan pertambagan.
Warga mendapati tim survey sedang memancang patok di lahan seorang warga. Pemilik lahan langsung menyita peralatan survey dan melaporkannya kepada Damung Adat dan Ketua RT setempat.

Setelah dilakukan sidang adat, perusahaan tambang biji besi itu dijatuhi pasal berlapis. Kesalahan utama perusahaan ini adat merusak dan tanpa pamit. Hukum adat merusak lebih dikenal dengan Pancung Papat Pajuh Bilai dan hukum adat masuk tanpa permisi adalah Langkah Batang Lampat Tunggul.

Pelanggaran Hukum Adat ini dituntut sebesar 15 di atas, pertama, 1 buah Tajau (tempayan) ditambah 2 buah piring. Kedua terkena hukuman Pancung Papat pajuh Bilai yaitu hukum-an yang diberikan kepada orang atau sekelompok orang karena telah meru-sak tanaman dan tumbuhan, dendanya sama dengan yang pertama. Hukuman ketiga adalah melanggar adat Kampung Tanjung. Adat yang ketiga ini sebesar 1 lasak (1 buah tajau) yang menjadi hak benuaq (kampung). Keempat, akibat perusakan hutan tanah dan kerugian yang dialami Bayer selaku pemilik lahan, maka PT Agra Mas juga dituntut denda adat senilai kerugian yang ditimbulkannya.
badri

Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang meiliki kawasan hutan yang sangat luas. Hutan memiliki banyak manfaat bagi kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi, sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang.

Hutan di Indonesia sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup satwa dan puspa yang ada di dalamnya. Selain itu, keberadaan hutan di Indoneisa ini juga berfunsgi untuk melestarikan beraneka ragam potensi satwa dan puspa di Indoensia.

0

TANJUNG SELOR
Warga Desa Sekatak Buji, Kecamatan Sekatak meyakini penyebab musibah banjir di daerah mereka adalah akibat kegiatan penebangan kayu oleh sebuah perusahaan di hutan wilayah hulungan Sungai Sekatak. Kepala Desa Sekatak Buji Abdurrahman mengatakan, musibah banjir di Sekatak terjadi sejak 2005 lalu. Sebelumnya daerah ini tidak pernah mengalami banjir. “Kalau ada banjir paling setinggi lutut. Itupun jarang. Tapi sejak ada kegiatan perusahaan kayu di hulu, sering banjir. Setahu kami sudah dua kali banjir besar seperti kemarin (Rabu, 2/12, Red.),” kata Abdurrahman dan dibenarkan oleh beberapa warga Sekatak lainnya. Tak hanya menyebabkan banjir, kegiatan penebangan hutan itu juga menyebabkan air sungai menjadi keruh. “Dulu sebelum ada perusahaan, airnya jernih. Kalau boleh dibilang, uang (logam, Red.) jatuh di sungai pun masih kelihatan. Sementara sekarang sangat keruh, belum lagi kalau banjir banyak batang-batang kayu hanyut,” keluhnya. Abdurrahman menceritakan, banjir yang terjadi Rabu (2/12) lalu memang tidak separah pada 2005 lalu. Namun kerusakan yang diakibatkan hampir sama. Menurut dia, kerugian warga akibat bencana alam itu mencapai ratusan juta rupiah. “Banyak barang elektronik, kapal, kendaraan milik warga yang rusak akibat terendam banjir. Belum lagi rumah warga yang kena longsor,” katanya. Banjir besar tidak hanya di Desa Sekatak Buji. Tapi juga di beberapa desa lain. Berdasarkan data yang dihimpun, hampir 150 rumah yang terendam banjir. Dengan ketinggian 2-4 meter. Banjir terparah terjadi di Desa Sekatak Buji, ibukota Kecamatan Sekatak. Di desa ini ada 113 rumah yang terendam. Di antaranya di RT 1 30 rumah, RT 02 sebanyak 37 rumah, RT 03 ada 22 rumah dan di RT 04 sebanyak 24 rumah. “Di desa lain, yang ikut terendam adalah Desa Kelincauan, Klembunan dan beberapa desa sekitar semua ada 50-an rumah,” imbuhnya. Tak hanya rumah penduduk, banjir juga menenggelamkan beberapa fasilitas umum. Seperti sekolah, masjid, kantor desa dan beberapa kantor lainnya. “Satu rumah yang berada di pinggir sungai longsor. Pada bagian belakang rumahnya sudah jatuh ke sungai,” kata dia lagi. Sementara itu, warga yang sebelumnya sempat mengungsi ke daerah yang tinggi, mulai Kamis (3/12) kemarin sudah kembali ke rumah masing-masing. Sejak pagi tampak warga sibuk membersihkan rumahnya dari bekas luapan air sungai. “Kemarin (Rabu, 2/12) memang sempat ada yang mengungsi. Tapi setelah sore air surut, mereka kembali ke rumah masing-masing. Sisa 3 orang saja yang masih netap di atas, karena rumahnya belum bisa ditempati,” kata Abdurrahman. BANTUAN BERDATANGAN Bantuan untuk korban banjir di Sekatak mulai berdatangan ke desa tersebut sejak Rabu (3/12) pagi. Selain dari Pemkab Bulungan melalui Dinas Sosial, bantuan juga diberikan oleh warga yang disalurkan lewat DPD KNPI. Bantuan yang mulai disalurkan kemarin, berupa mi instan, gula, minyak goreng, makanan ringan dan beberapa bahan sembako lainnya. “Untuk penyaluran bantuan kita dibantu oleh anggota TNI AD dari Kodim 0903/Tsr,” kata Abdurrahman. Seperti diberitakan sebelumnya, ratusan rumah terendam banjir hingga setinggi 2 meter. Tak hanya itu, jalan trans Kaltim yang melintas di desa itu juga terputus akibat tanah longsor. Banjir terjadi akibat luapan Sungai Sekatak yang berada di wilayah ibukota kecamatan tersebut. “Semalam (Selasa malam, Red.) hujan deras. Ditambah lagi hujan di hulu sungai juga deras, sehingga air sungai meluap,” ungkap Camat Sekatak, Edy Jumani. Kejadian serupa, kata dia juga pernah terjadi 4 tahun silam atau pada 2005 lalu. Ketika itu, banjir juga menenggelamkan hampir seluruh rumah di tiga desa di daerah Sekatak Buji dan sekitarnya. (ngh)

0

Padang

Banjir yang terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan dan Padang, Sumatra Barat, sepekan terakhir terjadi akibat penggundulan hutan, kerusakan daerah tangkapan air dan pendangkalan sungai.

Pemerintah kabupaten diminta membuat bendungan kecil (embung) sembari melakukan penghijauan guna mengantisipasi becana serupa di waktu mendatang.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat (Sumbar) Khalid Saifullah, Jumat (26/12), mengatakan bencana banjir dan longsor di Pesisir Selatan pada Kamis (25/12) akibat rusaknya hutan di bagian hulu sungai.

Selain di Pesisir Selatan, hutan yang rusak parah juga terdapat di Solok Selatan dan juga Padang, katanya.

Bila hujan masih terus mengguyur tiga jam saja, ujarnya, hampir dipastikan di sekitar daerah muara akan banjir besar. Ini akibat akibat penggundulan hutan, kerusakan daerah tangkapan air dan pendangkalan sungai, katanya.

Hutan yang rusak, menurut Saifullah, bukan saja hutan produksi, tetapi juga merambah hutan konservasi dan hutan lindung. Estimasi kita, hanya sekitar 50% hutan lindung di Sumbar yang masih relatif baik.

Manajer Pusat Kendali Operasi (Pusdalops) Penanggulangan Bencana Sumbar Ade Edward mengakui banyaknya hutan di Sumbar yang rusak. Yang disebutkan Walhi itu benar. Makanya, pemerintah kabupaten, terutama Pesisir Selatan dan Solok Selatan, harus membangun beberapa embung atau bendungan kecil di hulu sungai.

Menurutnya, adanya embung akan mengurangi risiko banjir di daerah muara, karena air besar akan sampai ke hilir secara berangsur-angsur. Namun ia juga meminta tetap dilakukan penghijauan yang hasilnya baru bisa dirasakan 15 tahun kemudian. Sedangkan untuk sementara, banjir bisa diatasi dengan adanya embung.

Ade juga mengimbau kabupaten/kota lainnya di Sumbar untuk menjaga hutannya yang belum terlalu rusak. Jangan karena kayu sedikit, merasakan dampak yang jauh lebih besar, tuturnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Tabing Padang Amarizal mengatakan, curah hujan di kawasan Sumbar masih akan tinggi hingga pertengahan Januari. Hal ini karena angin bertiup dari barat laut membawa uap air ke arah darat.

Hingga 25 Desember, menurutnya, curah hujan sudah di atas 400 milimeter. Artinya, curah hujan bulan ini di atas normal. Karena normalnya berada di titik 400 milimeter. (HR/OL-01)

0

0

Akibat dari penggundulan hutan adlah terjadinya kerusakan pada bimi, yaitu tanah longsor, banjir, erosi, global warming. Maka dari itu kita harus menjaga agar hutan di Indonesia tetap utuh seperti dulu. Agar terbebas dari kerusakan alam yang membuat kita susah juga nantinya. Pemerintah sendiri telah berupaya untuk memberantas pembalakan liar, tetapi proram tersebut belum sepenuhnya tuntas untuk memberantas pembalakan liar yang ada di hutan tersebut. Pemerintah dan warga setempat telah bergotong royong untuk membantu mengusir pembalakan liar yang ada di wilayah mereka agar wilayah tersebut terbebas dari pembalakan liar dan hutan meraka bisa diprtahankan keasliannya

0
Jumat, 25 Desember 2009

Hutan Idonesia adalah hutan yang sangt lebat didalam hutan tersebut terdapat berbagai tumbuhan, hewan dan mahluk hidup lainnya. Maka dari itu kita wajib menjaga hutan tersebut agar terjaga keasliannya, dan tidak merusak ekosistem yang lain. Pemerintah telah lama menjalankan pogram penghijauan diberbagai wilayah di Indonesia agar hutan tersebut tidak rusak, akibat pembalakan liar. sekarang Ileggal Loging membuat pemerintah Indonesia rugi triliunan rupiah setiap tahunnya akibat Ileggal Loging tersebut.

0
Minggu, 20 Desember 2009

Hutan Maluku Utara

Potensi kehutanan di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2004 memiliki areal hutan seluas lebih kurang 3.184.725 ha, terbagi dalam beberapa jenis hutan:
Hutan lindung : 683.750 hektar
Hutan produksi terbatas : 679.000 hektar
Hutan produksi : : 497.600 hektar
Hutan PPA : 48.000 hektar
Hutan konversi : 956.625 hektar

Dari potensi kehutanan itu terdapat berbagai jenis kayu komersial seperti kayu meranti, agathis, mersawa, merbau, benuang, nyatoh, motoa, bintanggur. Selain itu terdapat juga jenis hasil hutan non kayu seperti rotan, damar, sagu, kayu gaharu, dan beraneka ragam anggrek alam, serta flora dan fauna menarik lainnya.

Izin kegiatan pengusahaan hutan di Provinsi Maluku Utara sampai tahun 2005 terdiri dari IUPHHK, IUPHHTI sebanyak 12 unit dengan target RKT seluas 12.565,04 Ha dan volume produksi sebesar 388.814,27 M3. Selain itu juga terdapat kegiatan pengolahan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) sebanyak 3 unit seluas 60.914 Ha. Juga terdapat izin budidaya non kehutanan pada areal penggunaan lain (APL) sebanyak 25 kegiatan seluas 27.000Ha yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota dengan mempertimbangkan persetujuan prinsip dari Gubernur.

Hasil hutan yang telah dimanfaatkan dalam bentuk ekspor produksi kayu pada tahun 2004 saja sebesar 73.384 ton dengan nilai ekspor US $ 31.693.000, terdiri dari kayu lapis 69.286 ton senilai US $ 26.285.000, kayu gergaji 1.672 ton senilai US $ 897.000 dan kayu olahan sebanyak 2.426 ton dengan nilai ekspor US $ 4.511.000.


NO



KABUPATEN/KOTA


FUNGSI HUTAN


LUAS (Ha)







1.

Halmahera Barat

- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

79.500
27.250
4.250
96.250
-
2.

Halmahera tengah

- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

26.750
65.250
23.250
80.000
-
3.

Halmahera Utara


- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

145.500
111.000
26.250
189.100
-
4.

Halmahera Selatan

- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

105.750
229.250
185.000
244.525
38.500
5.

Halmahera Timur

- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

177.500
178.000
79.750
117.250
-
6.

Kepulauan Sula

- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

44.750
34.250
175.350
167.250
9.500
7.

Ternate

- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

2.500
-
-
13.000
-
8.

Tidore Kepualauan

- Hutan Lindung
- Hutan Produksi Terbatas
- Hutan Produksi
- Hutan Konversi
- Hutan PPA

101.500
34.000
3.750
49.250
-
* Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara

0

Hutan Lindung Nusa Tenggara Barat
Pengamanan dan perlindungan hutan, konservasi jenis dan ekosistem hutan

Kegiatan pokok ini direncanakan melalui identifikasi serangan hama dan penyakit tanaman hutan, pengembangan model demplot penanaman mangrove dan operasi pengamanan hutan lintas daerah dan perlindungan dan pengamanan hutan. Identifikasi serangan hama dan penyakit tanaman hutan yang dilaksanakan untuk mengenali berbagai hama dan penyakit tanaman. Pengelolaan hutan mangrove dilaksanakan pada 5 lokasi yaitu Lobar, Lotim, Kabupaten Sumbawa Barat, Sumbawa dan Bima dengan luas tanam 35 Ha yang meliputi lokasi baru 5 Ha, penanaman untuk pemeliharaan P I seluas 5 Ha, pemeliharaan P II seluas 5 Ha, lokasi Empang Parit baru2 lokasi seluas 10 Ha dan penanaman untuk Pemeliharaan I Empang Parit seluas 10 Ha.
Pengamanan kawasan dan pelestarian hutan dilakukan dengan menggelar operasi pengamanan hutan fungsional dan gabungan di kabupaten/kota se-Nusa Tenggara Barat guna mengurangi gangguan hutan.
a. Identifikasi serangan hama dan penyakit tanaman hutan
Kegiatan identifikasi serangan hama dan penyakit tanaman hutan dimaksudkan untuk mengetahui jenis-jenis hama dan penyakit serta tanda-tanda umum yang dapat dikenali sebagai gejala (simptom) dari adanya serangan hama dan penyakit. Tujuan utamanya adalah pengendalian serangan hama dan penyakit tanaman hutan sehingga dapat dicegah penyebarannya dan teknik pengendaliannya.
• Anggaran : Rp. 55.907.578,-
• Sasaran : 8 Kabupaten/Kota.
b. Pengembangan Model Pengelolaan Mangrove Hutan Mangrove pola empang parit.
Pengelolaan hutan mangrove dilaksanakan pada lokasi Kabupaten Lobar, Kabupaten Lotim, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Bima dengan prioritas pelestarian sehingga kegiatan yang dirancang adalah rehabilitasi hutan mangrove seluas 35 Ha. Manfaat yang sangat luas dari keberadaan hutan mangrove seperti perbaikan habitat satwa burung, habitat ikan, dan perlindungan dari abrasi dan intrusi serta sebagai penahan gelombang air laut menyebabkan rehabilitasi hutan mangrove perlu dilaksanakan dengan prioritas pada daerah rawan bencana.
• Anggaran : Rp. 250.750.000,-
• Sasaran : 35 Ha.
c. Pengamanan dan Perlindungan Hutan
Kegiatan Pengamanan dan perlindungan hutan melalui operasi pengamanan hutan dilaksanakan secara fungsional maupun gabungan yang melibatkan berbagai institusi dalam rangka penegakan hukum dan upaya pemberantasan berbagai tindakan kejahatan bidang kehutanan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan sasaran 8 wilayah Kabupaten/Kota dengan prioritas kawasan hutan yang rawan gangguan seperti kawasan Tambora. Operasi dimaksudkan untuk memberi shock teraphy yang akan memberi efek jera sehingga akan menurunkan gangguan keamanan hutan terutama terhadap illegal logging. Operasi fungsional dilaksanakan dengan melibatkan petugas fungsional polisi kehutanan pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sedangkan operasi gabungan dilaksanakan dengan melibatkan berbagai unsur penegak hukum sesuai dengan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat antara lain Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, Kejaksaan Tinggi, Angkatan Laut, Angkatan Darat, serta berbagai unsur terkait lainnya. Hal ini dimaksudkan pula guna membangun komitmen berbagai pihak dalam menjaga sumber daya hutan.
• Anggaran : Rp. 180.869.000,-
• Sasaran : 8 Kabupaten/Kota.
d. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan dilaksanakan mengatasi kegiatan kejahatan/ pelanggaran kehutanan, membentuk satgas khusus POLHUT, pengamanan swakarsa, serta menyelesaikan pemberkasan kasus tindak pidana kehutanan, perlindungan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan yang melibatkan berbagai institusi dalam rangka penegakan hukum dan upaya pemberantasan berbagai tindakan kejahatan bidang kehutanan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan sasaran 8 wilayah Kabupaten/Kota hutan.
• Anggaran : Rp. 272.760.000,-
• Sasaran : 8 Kabupaten/Kota.

0

hutan reboisasi wilayah jawa timur

Kekeringan yang melanda sejumlah daerah di Pulau Jawa mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Untuk mencegah berlanjutnya dampak kekeringan, pemerintah sudah mempersiapkan sejumlah langkah, dari jangka pendek hingga panjang. Salah satu langkah yang bakal diambil, pemerintah akan melaksanakan reboisasi hutan dan lahan di Pulau Jawa yang mengalami kerusakan cukup parah dalam 5 tahun terakhir.
Menkokesra Jusuf Kalla menuturkan bahwa gerakan reboisasi itu dimulai bulan Agustus ini juga. Dana yang dipersiapkan tidak tanggung-tanggung, sebesar Rp 8 trilyun, yang diambil dari dana reboisasi yang selama empat tahun terakhir tidak digunakan.''Semua yang terjadi, kekeringan maupun terjadi, karena hutan kita yang rusak. Karena itu perlu reboisasi,'' ujar Jusuf Kalla, dalam jumpa pers dalam Rapat Kabinet Terbatas yang secara khusus membahas bencana kekeringan.
Untuk periode tahun 2003 ini, pemerintah berencana menggunakan dana sebesar Rp 1,2 trilyun. Namun, pada tahap awal, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui penggunaan dana sebesar Rp 420 milyar.Dana itu akan digunakan untuk reboisasi hutan dan lahan sebesar 300 Ha, yang kemudian ditingkatkan menjadi 500 Ha hingga secara keseluruhan akan mencapai 100 juta Ha.
Pelaksanaan reboisasi ini sudah tidak bisa ditunda lagi. Dari data yang dimiliki Kementerian Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), kekeringan tahun 2003 yang melanda lebih dari 445 ribu Ha sawah, mengindikasikan adanya trend peningkatan kekeringan yang cukup serius dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal biasanya, kekeringan serius hanya terjadi ketika Indonesia dilanda El Nino, seperti yang terjadi pada tahun 1991, 1994 dan 1997.
Terkait dengan kekeringan ini, Menkimpraswil Nabiel Makarim menilai bahwa Pulau Jawa mendukung kegiatan jumlah penduduk secara berkelanjutan. Bahkan, ia mengusulkan agar Pulau Jawa disikapi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu penyikapakn yang dilakukan adanya tidak dilakukannya pertanian yang membutuhkan air banyak. ''Pulau Jawa harus dihentikan sebagai penghasil kayu,'' ujar Nabiel Makarim, saat mendampingi Kalla.
Secara terpisah, Menteri Kehutanan M Prakosa mengungkapkan, pemerintah menargetkan penanaman pohon berbagai jenis sebanyak 300 juta hingga 1 milyar batang yang difokuskan di hutan gundul maupun di sekitar daerah aliran sungai. Penamaman ini tidak hanya dilakukan di Pulau yang dianggap sudah pada tahap kritis, tapi juga luar Jawa dengan keseluruhan wilayah sasaran berjumlah 15 provinsi.
Soal dana, menteri asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menyebut dana yang dipersiapkan berjumlah Rp 10 trilyun, berbeda dengan Kalla yang hanya menyebut Rp 8 Trilyun. ''Yang jelas, reboisasi tidak sangat mendesak dan tidak bisa ditunda lagi,'' katanya, usai mengikuti Rapat Kabinet Terbatas.
Meski kekeringan kali ini tidak separah sewaktu El Nino, seperti terjadi tahun 1997 yang mengakibatkan kerusakan lahan pertanian seluas 504.021 Ha dan 161.144 diantaranya mengalami puso, kerugian yang diakibatkannya lumayan besar. Dari catatan pemerintah, kekeringan mengakibatkan 450 ribu Ha sawah kering dengan 100 ribu diantaranya mengalami gagal panen atau puso, 250 kepala keluarga kehilangan pendapatan, serta 5 juta penduduk kekurangan air minum.
Kekeringan melanda hampir seluruh wilayah di Jawa. Untuk Provinsi Banten, meliputi Pandeglang, Serang, Tangerang dan Lebak. Provinsi Jawa Barat meliputi Indramayu, Cirebon, Ciamis dan Sukabumi. Di Jawa Tengah, daerah yang mengalami kekeringan adalah Karanganyar, Rembang, Sragen, Blora. Daerah Istimewa Jogjakarta yang mengalami kekeringan baru Gunung Kidul. Sementara di Jawa Timur, kekeringan terjadi di sejumlah daerah di pantai utara seperti Bojonegoro, Tuban dan Gresik.
Diantara wilayah di Jawa, DKI Jakarta tampaknya akan mendapatkan ancaman serius akibat dari kekeringan ini. Selain menyebabkan keringnya 49 situ, kekeringan bisa menyebabkan berkurangnya pasokan listrik di ibu kota negara ini. Ancaman ini, terkait dengan debit air Waduk Jatiluhur yang setiap harinya mengalami penurunan 20 Cm. Nabiel mengungkapkan, dalam kondisi normal, ketinggian air di waduk adalah 107 M. Sementara posisi saat ini adalah 82 M. Jika posisi air sampai 49 M, dipastikan pasokan listrik ke DKI Jakarta akan dikurangi. ''Yang dikeluhkan Pemadam Kebakaran adalah tidak bisa mengatasi kebakaran karena tidak tersediannya kebutuhan air,'' ungkap Nabiel.
Untuk mengatasi kekeringan tahun ini, pemerintah dalam Rapat Kabinet Terbatas kemarin sudah menyiapkan sejumlah langkah. Jangka pendek misalnya, dilakukan dengan menyuplai beras ke 18 daerah yang mengalami kekeringan. Langkah jangka pendek lainnya, pemerintah membuka lapangan kerja padat karya, yang khususnya diarahkan untuk membuat saluran irigasi.
Progam jangka menengah, dilakukan dengan meningkatkan anggaran pembiayaan perairan. Anggaran itu, diarahkan untuk pembangunan tempat penampungan air. Sejumlah proyek yang sudah diteliti kelayakannya seperti rencana pembangunan waduk di Indramayu, akan dipercepat pembangunannya. Sementara untuk jangka panjangnya, dilakukan dengan reboisasi.
Sementara itu, menanggapi ancaman kekeringan yang kian nyata, Bulog segera melakukan langkah-langkah untuk memberikan bantuan beras sebagai dampak kekeringan. "Ini dilakukan sesuai dengan permintaan Menko Kesra dan tindak lanjut hasil sidang kabinet pada 22 Agustus lalu," kata Kahumas Perum Bulog Suhardjono.
Beras tersebut, kata Suhardjono, merupakan bantuan pemerintah pusat kepada para petani yang lahannya terkena dampak kekeringan atau puso (gagal panen). "Bulog telah melakukan penyaluran, masing-masing 100 ton, untuk 18 kabupaten di tiga provinsi," ujar Suhardjono. Beras dari Bulog tersebut disalurkan melalui divre dan kasubdivre. "Nantinya pemda setempat yang akan menyalurkan beras ini kepada warganya," tambahnya.
18 kabupaten itu adalah Idramayu, Cirebon, Subang, Majalengka, Sukabumi dan Ciamis. Kesemuanya di Provinsi Jawa Barat. Lalu juga ada Wonogiri, Sragen, Rembang, Grobogan, Demak dan Cilacap di Jawa Tengah. "Yang lainnya adalah di Jawa Timur, yakni Bojonegoro, Tuban, Sampang, Ngawi, Ponorogo dan Bangkalan," sambungnya.

Jumat, 18 Desember 2009

Kondisi Umum Hutan di Prop. DI Yogyakarta

Luas kawasan hutan negara di Propinsi DIY mencapai 16.819,52 Ha atau 5,36 % dari luas wilayah, yag terdiri atas hutan produksi 13.851,28 Ha, hutan lindung 2.057,90 Ha dan hutan konservasi 910,34 Ha (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 171/Kpts-II/2000, tanggal 29 Juni 2000). Hingga saat ini hutan di Propinsi DIY telah memberikan kontribusi yang penting dalam pembangunan daerah dan masyarakat, antara lain dalam bentuk peningkatan pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, pemenuhan bahan baku industri, serta jasa lingkungan.
Seiring perjalanan waktu, hutan negara banyak mengalami kemunduran (aforestasi), baik yang disebabkan alam, maupun karena kegiatan manusia, seperti pencurian/perencekan, penjarahan, dan kebakaran. Kondisi demikian dapat dimaknai sebagai semakin terbatasnya sumberdaya hutan. Hutan negara di wilayah Propinsi DIY mempunyai batas-batas langsung bersinggungan dengan tanah milik/pemukiman rakyat (batas luar) sepanjang 391,85 Km. Dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang relatif rendah, pola pencarian agraris, serta kepemilikan lahan yang sempit, semakin mempertinggi tekanan terhadap kawasan hutan. Oleh karena itu, guna mewujudkan hutan yang lestari secara berkelanjutan, diperlukan pemikiran dan tindak lanjut.

Hutan Produksi

Kawasan hutan produksi di propinsi DIY seluas 13.851,28 ha, terletak di Kabupaten Gunung Kidul seluas 12.026,95 ha, Kabupaten Kulon Progo seluas 6.01,6 ha, dan Kabupaten Bantul seluas 510,3 ha. Komoditi kehutanan yang saat ini dikembangkan pada areal hutan negara adalah : Jati, Mahoni, Sonokeling, Albasia, Kesambi, Sungkai, Jaranan, Kemiri, Kenanga, Kayu Putih dsb.

Hutan Lindung

Kawasan hutan lindung di propinsi DIY seluas 2.057,90 ha, terletak di Kabupaten Sleman seluas 1.446,65 ha, Kabupaten Gunung Kidul seluas 590,35 ha dan Kabupaten Kulonprogo seluas 254,90 ha. Namun demikian hutan lindung di Kabupaten Sleman telah masuk dalam Taman Nasional Gunung Merapi, sehingga pengelolaan hutan lindung di Dishutbun Propinsi DIY tinggal di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulonprogo. Hutan lindung di Kabupaten Gunung Kidul meliputi petak 105, 106, 107, 61, 62, 63 dan sebagian petak 64 seluas 16,75 ha, sedangkan di Kabupaten Kulonprogo meliputi petak 25, 26, 27, 28, 29, 30 dan sebagian petak 24 seluas 5,5 ha. Hutan lindung di Kabupaten Bantul berada di RPH Mangunan dan RPH Ndlingo. Sampai saat ini hutan lindung tersebut masih dikelola seperti fungsi hutan yang lain dan masih menggunakan kelembagaan yang ada di Dishutbun DIY.

a. Hutan Lindung di Kabupaten Gunung Kidul

Kawasan hutan ini masuk dalam wilayah pengelolaan RPH Kedungwanglu, BDH Paliyan, dan RPH Candi, BDH Karangmojo. Kondisi vegetasi hutan lindung di RPH Kedungwanglu sebenarnya merupakan tanaman jati yang bercampur sono keling di petak 105 dan jati dengan campuran Acasia mangium, dan kayu putih di petak 107, sementara hanya berupa tanaman jati di petak 106. Kondisi tanaman hutan berkerapatan rendah dan masuk dalam katagori bertumbuhan kurang dengan tanaman berdiameter kecil. Oleh karena itu kawasan ini telah dilaksanakan penanaman jati dengan program GNRHL untuk tahun 2003 dan 2004, yaitu 52 ha di petak 105 tahun 2003, 23 ha di petak 106 tahun 2004 dan 30 ha di petak 107 tahun 2004 dan 38 ha tahun 2004. Sementara itu kondisi hutan lindung di RPH Candi juga dalam keadaan yang bertumbuhan kurang, sehingga dilakukan program penanaman melalui proyek GNRHL sejak tahun 2003 dan 2004 dengan tanaman jati yang sebagian dicampur dengan mahoni, dan acasia.

b. Hutan Lindung di Kabupaten Kulonprogo

Kawasan hutan lindung di Kabupaten Kulonprogo ini masuk dalam wilayah pengelolaan RPH Sermo, BDH Kulonprogo. Kondisi vegetasi hutan lindung sebenarnya merupakan tanaman campuran berbagai jenis tanaman antara lain adalah jati, acasia, pinus, kenanga, acasia, we, sono keling, dan kemiri yang luasannya sangat bervariasi, yang ditanam sejak tahun 1972 sampai tahun 1999. Kondisi tanaman hutan berkerapatan rendah, dengan pertumbuhan yang kurang baik sampai dengan jelek.

c. Hutan Lindung di Kabupaten Bantul

Kawasan hutan lindung di Kabupaten Bantul berada di RPH Mangunan yang meliputi RPH Mangunan yang mencakup Blok Terong, Blok Sudimoro, Blok Gumelem dan Blok Kediwung. Selain itu jg terdapat di RPH Dlingo yang mencakup Blok Kaling, Blok Kebosungu, Blok Kayumas, Blok Dodogan, Blok Banyuurip, Blok Ceme.

Taman Nasional Gunung Merapi

Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) secara geografis terletak di koordinat 110° 15’ 00” BT – 110° 37’ 30” BT dan 107° 22’ 30” LS -07° 52’ 30” LS yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Provinsi Jawa Tengah. Kawasan Gunung Merapi terletak pada ketinggian antara 600 m dpl sampai dengan 2968 mdpl. Wilayah TNGM seluas 6.410 ha, terdiri dari 1.283,99 ha atau 20% kawasan hutan yang terletak di Propinsi DIY dan 5,126,01 ha atau 80% terletak di Propinsi Jawa Tengah.

Status kawasan hutan yang terletak di Propinsi DI Yogyakarta tersebut sebelumnya merupakan Hutan Lindung Merapi dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DI Yogyakarta dan Cagar Alam Plawangan Turgo yang dikelola oleh BKSDA DI Yogyakarta. Selain itu, terdapat sekitar 10 Ha hutan penelitian yang dikelola Badan Litbang, Departemen Kehutanan yang terdiri atas koleksi jenis pohon asing (exot) dan famili pinaceae.

Karakteristik topografi wilayah TNGM dan sekitarnya di Kabupaten Sleman DIY :

* Mulai landai hingga lahan yang memiliki kelerengan sangat curam dengan ketinggian 100 – 1.500 m dpl.
* Dibagian paling utara merupakan lereng Gn. Merapi yang miring ke arah Selatan. Di lereng selatan Gn. Merapi terdapat dua bukit yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang. Di bagian lereng puncak Merapi reliefnya curam sampai sangat curam.
* Bagian selatan dari ketiga kecamatan (Turi, Cangkringan, Pakem) masih berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik. Sedangkan bagian tengah berupa lahan kering dan paling utara merupakan bagian dari lereng Gn. Merapi yang berupa hutan.

Taman Hutan Raya Bunder Playen

Kerusakan alam juga melanda kawasan Hutan Bunder yang terletak di Desa Gading, Kecamatan Playen. Usaha penghijauan kembali kawasan Gunung Kidul dilakukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY bersama UGM tahun 1966, berawal dari program reboisasi Hutan Wanagama I. Wilayah Hutan Bunder tak luput dari usaha tersebut.Tahun 2004, fungsi Hutan Bunder seluas 617 hektar sebagai hutan produksi diubah menjadi kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) untuk tujuan penelitian, budidaya, pariwisata, budaya, dan rekreasi. Kini hamparan hijau pohon rimba tumbuh rindang dan memberikan kesejukan udara di Tahura Bunder. Aroma khas tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendra) sebagai ekosistem utama di hutan itu, serta kicauan cucak kutilang (Picnonotus aurigaster) dan kepodang (Oriolus chinensis) menjadikan lokasi ini nyaman ketika berkendara melintasi Jalan Raya Wonosari-Yogya.

Di “rest area” Tahura Bunder, pengunjung dapat beristirahat sambil menikmati mi hangat atau menyantap sayur lombok hijau dan beras merah - makanan khas Gunung Kidul - di sejumlah warung makan milik penduduk setempat. Jalan selebar empat meter di antara arena bermain dan area parkir menjadi pintu masuk jalur wisata alam kawasan Tahura Bunder. Sekitar 1,5 km dari jalur masuk yang terletak di sisi selatan Sungai Oyo, pengunjung akan mencapai unit persemaian bibit tanaman Tahura Bunder seluas lima hektar. Bibit yang dikembangkan antara lain tanaman jati, mahoni, kayu putih, sukun, dan jambu mete, untuk program reboisasi dengan produksi sedikitnya dua juta bibit per tahun.

Di sebelah timur area persemaian terdapat penangkaran rusa timor (Cervus timorensis) seluas enam hektar. Sekitar 1,5 km ke arah selatan dari kawasan penangkaran rusa, pengunjung dapat melihat penyulingan minyak kayu putih di pabrik yang berdiri tahun 1980-an. Lebih kurang 500 meter ke arah selatan terdapat lokasi “camping ground” Tahura Bunder, yang berada di antara pohon jati. Setelah menikmati wisata alam di Tahura Bunder, sebagai cendera mata, pengunjung dapat membeli madu hasil peternakan lebah masyarakat setempat.

Cagar Alam Gamping

Cagar Alam (CA) Gunung Gamping di Propinsi D.I. Yogyakarta memiliki luas 1.084 Ha. Kawasan konservasi ini terletak di Desa Ambar Ketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Resort Kaliurang. Cagar Alam tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 758/Kpts-II/1989 tanggal 16 Desember 1989.

CA Gunung Gamping mempunyai nilai sejarah penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pesanggrahan di Ambar Ketawang yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, yaitu ketika kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat didirikan. Di kawasan ini dilangsungkan upacara adat Saparan (Bekakak) di setiap bulan Sapar atau Mei.

Nilai penting ditetapkannya kawasan ini sebagai cagar alam adalah untuk melindungi fenomena geologi. Ahli geologi Verbeek dan Fennema 1896 menyatakan bahwa di daratan Pulau Jawa hanya terdapat 1/2% singkapan batuan berumur Eosen (38 - 54 Juta tahun). Salah satu singkapan batuan tersebut antara lain terdapat di Yogyakarta, dimana sisa-sisanya saat ini berupa endapan batu gamping yang ditunjuk pada tahun 1982 dan selanjutnya ditetapkan dengan SK. Menhut pada tahun 1989 sebagai cagar alam. Berdasarkan penelitian Prof. Gerth tahun 1929 dan Purnamaningsih tahun 1972, sampel dari batu gamping tersebut ditemukan fosil-fosil binatang laut dari jenis Goraminifera yang berupa: Pellatispera orbitoidea, Discocyclina dispansa, dan Nummulites gerthi.

Temuan tersebut memperkuat kesimpulan bahwa endapan gamping di Ambarketawang benar-benar berasal dari zaman eosen, karena endapan ini terbentuk pada kondisi laut dengan tumbuhan karang pada zaman eosen. Oleh karena itu, perlindungan zaman eosen di CA Gunung Gamping sangat penting bagi ilmu pengetahuan, termasuk hubungannya dengan sejarah pertumbuhan dan pembentukan Pulau Jawa.

Hutan Pendidikan dan Penelitian Wanagama I

Pada tahun 1926, hutan-hutan alam di daerah Gunung Kidul telah habis ditebang, selanjutnya tahun 1927 pernah dicoba penanaman jati, namun pada tahun 1948 telah kosong kembali. Percobaan penanaman tahun 1954 - 1958 pun tidak berhasil dengan baik. Pada tahun 1963 mulai ditanami murbai yang direncanakan dicampur dengan pinus.

Pada tahun 1967, Dinas Kehutanan menyerahkan pengelolaan petak 5 seluas 79,9 Ha kepada Fakultas Kehutanan UGM untuk dikelola atau dihutankan kembali, dan diberi nama “Wanagama I”.

Pada tahun 1982, luas Wanagama I dimekarkan menjadi 599,7 Ha yang terdiri dari petak 5, 6, 7, 13, 14, 16, 17, dan 18. Petak 6 dan 7 terletak di Kecamatan Patuk dan petak-petak lainnya masuk wilayah Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul.

Misi yang diemban Wanagama I adalah :

* Wanagama I sebagai hutan pendidikan dan penelitian
* Wanagama I sebagai hutan percontohan
* Wanagama I sebagai wahana penyuluhan
* Wanagama I sebagai hutan wisata dan wisata ilmiah

Dari keempat misi tersebut, saat ini sebagian besar telah terwujud. Di bidang penelitian dan pendidikan, Wanagama I telah mencetak berpuluh sarjana kehutanan, baik S1, S2, maupun S3.

Di bidang penelitian, Wanagama I menjadi pusat uji genetik dan sumber benih, antara lain:
Uji coba Acacia Sp

* Tegakan benih Acacia mangium
* Uji provenens E. mophylla
* Uji keturunan E. mophylla
* Uji provenens Pinus merkusi
* Tegakan benih Caliandra callothyrsus
* Uji species kayu bakar
* Uji keturunan T. grandis
* Uji provenus T. grandis

Sebagai tempat percontohan lahan kritis, penyuluhan, dan wisata ilmiah, Wanagama I menjadi kajian studi banding dari Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, Mahasiswa, anak sekolah, pramuka, dan tamu-tamu dari luar negeri. Sejak tahun 1987, Wanagama I bekerja sama dengan Mayasari dan Sanggar Bambu membuat paket wisata hutan sehari, dalam rangka menggalakkan bidang wisata berwawasan lingkungan.

Proyeksi pembangunan Wanagama I di masa yang akan datang adalah:

* Sebagai pensuplai benih unggul pohon-pohon hutan ke berbagai wilayah Indonesia.
* Mereboisasi daerah-daerah lain yang pedoklimaksnya setipe dengan Wanagama I (Bali, NTB, NTT, Sulteng), agar dapat lebih berhasil.

Hutan Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa (sedang dalam proses)

0

Hutan Sulawesi Barat

Mamuju (ANTARA News) - Gubernur Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) Anwar Adnan Saleh meminta agar hutan di provinsi tersebut segera dilakukan reboisasi kembali agar hutan di wilayah itu mampu menampung sumber daya air yang bisa membangkitkan energi listrik.
"Hutan Perlu direboisasi kembali agar daerah ini memiliki sumber air yang melimpah terkandung di dalam tanah, dan juga sungai tidak menjadi kering, sehingga bisa dimanfaatkan, selain untuk dikomsumsi sebagai kebutuhan, juga bisa membangkitkan energi listrik," ujarnya pada saat melakukan peresmian gardu induk PLN Mamuju, Jum'at.

Acara peresmian gardu induk PLN Mamuju itu dihadiri Kepala PLN Cabang Mamuju Khening Kyat Pamungkas, serta sekitar 58 orang camat yang berasal dari lima Kabupaten di Provinsi Sulbar.

Gubernur mengatakan, hutan di Sulbar sekitar 2.500 hektare telah mengalami kerusakan yang sangat serius akibat ulah tangan manusia.

"Ulah manusia seperti praktek illlegal loging, pembukaan HPH oleh perusahaan, dan pembalakan liar dari warga, serta pembakaran hutan telah merusak hutan kita," ujarnya.

Sehingga, kata dia, hutan yang rusak tersebut tidak mampu menampung sumber air disaat musim kemarau akibat gundul bahkan dapat menimbulkan bencana seperti banjir.

Menurut dia, kondisi tersebut cukup berpengaruh bagi pembangkit energi listrik karena tidak memiliki sumber pembangkit yakni air, seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa yang sungainya mampu menjadi sumber energi bagi pembangkit listrik di PLTA Bakaru Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan.

"Di saat kekeringan debit airnya sungai Mamasa berkurang, dan pembangkit listrik PLTA Bakaru tidak dapat beroperasi sehingga kitapun terkena imbasnya berupa pemadaman.

Oleh karena itu, kata dia, pada 2010 Pemprov Sulbar akan kembali melakukan program reboisasi hutan agar sumber air terpelihara dan mampu menjadi sumber energi pembangkit listrik, disamping untuk mencegah terjadinya banjir yang kerap melanda walayah ini.

"Tahun ini akan memprogramkan kepada pemerintah pusat untuk memprogramkan kembali penghijauan hutan yang gundul," ujarnya.

Ia juga meminta agar semua pihak di wilayah tersebut dapat membantu program itu khususnya camat sebagai pemerintah di kecamatan karena memiliki kemampuan untuk menjankau wilayah terpencil yang rawan pengrusakan hutan.

"Camat harus melakukan antisipasi kerusakan hutan, akibat ulah manusia, karena kalau hutan habis, kita juga susah minum," ujarnya.
(T.PK-MFH/A023)

0

Hutan Sulawesi Selatan Harus Dijaga 800 polhut

Makassar (ANTARA News) - Dinas Kehutanan provinsi Sulsel membutuhkan 800 orang Polisi Hutan untuk menjaga luas hutan di daerah ini 2.109.611 ha dari aksi pengrusakan dan penjarahan kayu secara liar.
"Seharusnya tersedia 800 polhut untuk mengamankan hutan seluas itu, yang saat ini hanya diawasi dan dijaga 234 polisi hutan," kata Kepala Dinas Kehutanan Sulsel, Ir Idris Syukur, Msi di Makassar, Jumat.

Dari jumlah polhut yang ada sekarang, lanjutnya, 25 persen diantaranya akan memasuki purnakarya (pensiun) sehingga jika tidak segera diantisipasi dengan menyiapkan polhut profesional, maka areal hutan seluas kurang lebih 2,1 juta ha akan terusik dengan tindakan pengrusakan dan penjarahan kayu dalam kawasan hutan tersebut.

Penyiapan tenaga polhut dilakukan daerah kabupaten/kota yang memiliki hutan, termasuk Dishut Sulsel dengan perbandingan setiap satu orang polhut menjaga dan mengawasi 500 ha dari yang sekarang tiap orang mengawal 10.000 ha.

"Luas 10 ribu ha dengan dikawal satu polisi hutan tidak ideal sebab luas hutan yang diawasi cukup luas, sementara fasilitas kendaraan yang digunakan lebih banyak kendaraan pribadi," katanya seraya berharap pengawasan hutan bisa lebih efektif jika satu orang menjaga 500 ha.

Menurutnya, selama ini jatah penerimaan untuk CPNS, khusus polhut tidak pernah ada sehingga tenaga yang dimanfaatkan sekarang berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan gaji hampir sama UMP.

Karena itu, ungkapnya, untuk menjaga dan mengawasi luas hutan Sulsel 2,1 juta hektar yang terdiri hutan lindung 1,2 juta ha lebih, hutan produksi terbatas 488.551 ha, hutan produksi 131.041 ha, hutan konversi 23.630 ha dan hutan suaka alam/wisata 242.110 ha, dibutuhkan sekitar 800 orang polisi hutan.

Sekarang ini, kata Idris, dari luas hutan yang ada saat ini 30,6 persen kawasan hutan sudah kosong, tidak produktif, bahkan kritis sehingga tampak gundul yang akan membahayakan masyarakat sekitarnya ketika musim hujan tiba.

Bahkan, di Daerah Aliran Sungai (DAS) tertentu kondisi hutannya tidak berfungsi optimal sebagai "buffer area", sementara untuk mengatasi hutan kritis/gundul maupun DAS dengan mengandalkan Rehabilitasi Hutan Lindung (RHL) membutuhkan waktu 10-20 tahun baru dapat diatasi.

Tahun 2008, lanjutnya, pemerintah provinsi Sulsel mengalokasikan dana APBD sebanyak Rp11,1 miliar lebih untuk sembilan program kegiatan antara lain rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan konservasi sumber daya hutan, pemanfaatan kawasan hutan industri dan pembinaan serta penertiban industri hasil hutan. (T.PK-MH/F003)

0

Hutan Sulawesi Terkikis

Aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan sawit untuk bio-fuel di sejumlah wilayah di Sulawesi kian hari kian mengikis kawasan hutan dan areal pertanian.Hal ini bukan hanya menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang berdampak kian seringnya bencana terjadi. Lebih dari itu, juga menjadi penyebab proses pemiskinan akibat banyaknya petani yang kehilangan lahan dan kehilangan investasi pemerintah di sektor pertanian dan kehutanan.
Hal ini mengemuka dalam Temu Komunikasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Sulawesi di Palu, Kamis (17/7). Pertemuan diikuti sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan perwakilan pemerintah dari instansi terkait, dari enam provinsi di Sulawesi.
”Persoalan besar di hampir semua wilayah di Sulawesi saat ini adalah pertambangan dan pembukaan kebun sawit untuk bio feul. Dengan alasan wilayah Sulawesi punya potensi tambang dan areal yang besar, peningkatan pendapatan daerah dan penyerapan tenaga kerja, izin dan kuasa pertambangan terus diberikan. Padahal sebagian besar areal pertambangan dan kebun sawit, berada di hutan dan lahan pertanian masyarakat. Dampaknya, bukan hanya merugi akibat kerusakan lingkungan, tapi juga terutama pada masyarakat khususnya petani yang kehilangan lahan yang menjadi sumber penghidupan,” kata Sri Hardiyanti, Direktur Eksekutif Lestari.
Persoalannya kata Hardiyanti, kerusakan yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan sawit, tidak sebanding dengan apa yang diperoleh. Sebagai contoh adalah berkurangnya debit air di dua bendungan besar di Bolaang Mogondow, Sulawesi Utara yakni Kasinggolan dan Toraut. Hal ini disebabkan pengggunaan air untuk pengolahan bijih emas dan pembukaan daerah tangkapan air.
Kalau awalnya tahun 1986, debit air Bendungan Kasinggolan sembilan m3/detik, kini tinggal lima m3/detik. Sementara di Bendungan Toraut dari 12 m3/detik kini tinggal enam m3/detik bahkan menjadi dua m3/detik di musim kemarau panjang. Kedua bendungan diharapkan menyuplai sekitar 12.381 ha areal persawahan milik 8.988 petani. ”Kekurangan debit ait menyebabkan panen yang biasanya tiga kali setahun menjadi dua kali. Kehilangan satu musim, setiap petani merugi hingga Rp 8 juta atau total Rp 71,9 miliar dari keseluruhan petani. Nilai ini setara dengan tujuh kali lipat PAD Bolaang Mongondow yang hanya sekitar Rp 9,9 miliar di tahun 2006. Ini belum termasuk ancaman krisis pangan mengingat Bolaang Mongondow adalah lumbung beras Sulawesi Utara,” jelas Yanti.
Di Minahasa, sekalipun pemerintah daerah tidak mengeluarkan izin, tapi pemerintah pusat memberi izin pada PT Meares Soputan Mining di areal seluas 741.125 ha di Likupang, Minahasa Utara.
Lain lagi di Gorontalo dimana Pemerintah setempat mencoba menukar 110.000 ha dari total 287.115 ha areal Taman Nasional Bogani Nani Wartabone untuk dijadikan areal pertambangan. Padahal di taman nasional ini terdapat Cagar Alam Tangkoko Batu Angus, Cagar Alam Gunung Lokon, Kawasan Lindung Toka Tindung, dan kawasan hutan lindung lainnya. Ini akan membuat bencana banjir di Gorontalo kian besar dari tahun ke tahun.
Sementara itu di Sulawesi Barat, dengan alasan eksplorasi seismik untuk tambang minyak di perairan Selat Makassar khususnya di Majene dan Mamuju, nelayan setempat dilarang melaut. ”Padahal selain jadi sulit untuk melaut, nelayan setempat juga tidak mendapat kejelasan soal ganti rugi investasi mereka di laut seperti rumpon dan bagang,” jelas Ikhsan Welli, Direktur Yan Marindo. Menurut Hardiyanti, mengingat kerugian yang dialami akan jauh lebih besar dari keuntungan yang dijanjikan sektor pertambangan dan kebun sawit, pemerintah harusnya mau melihat persoalan ini secara lebih terbuka. ”Demi kepentingan masyarakat, lingkungan, dan investasi pemerintah sendiri, harusnya izin pertambangan dan pembukaan kebin sawit diberikan secara hati-hati dan memikirkan dampaknya secara luas,” kata Hardiyanti.

0

Selamatkan Hutan Sumatera

Berapa lembar kertas yang Anda gunakan setiap hari? Berapa gelas kopi Anda minum sehari-hari? Berapa banyak gorengan Anda nikmati? Berapa banyak bahan dari minyak sawit yang Anda gunakan? Sangat banyak barangkali. Apalagi bila Anda tinggal di kota besar yang gaya hidupnya tak lepas dari barang-barang itu.
Namun, tahukah Anda bahwa dengan mengurangi konsumsi kopi, minyak sawit dan bahan turunannya, serta penggunaan kertas, Anda bisa ikut menyelamatkan hutan di Sumatera? Pasalnya, hutan yang dahulu menjadi habitat berbagai jenis hewan dan penyimpanan air tanah itu kini telah banyak diubah fungsinya, baik untuk perkebunan kopi, kelapa sawit, atau pohon bahan baku kertas untuk memenuhi kebutuhan orang kota. Tak heran jika hutan di beberapa daerah pedalaman rusak.
"Situasi hutan Sumatera kini membutuhkan perhatian dari banyak orang. Produksi kertas, kelapa sawit, dan kopi yang diolah untuk kepentingan masyarakat kota telah merusak hutan di Sumatera," kata Communications Manager World Wildlife Fund Indonesia (WWF) Desmarita Murni dalam kampanye "Ayo Jelajahi Hutan Sumatera", Jumat (22/8). Kampanye yang diusung WWF Indonesia itu digelar dengan tujuan menumbuhkan kesadaran masyarakat kota bahwa pola hidup mereka berpengaruh pada ekosistem hutan di Sumatera.
Menurut Desmarita, kondisi hutan di Sumatera amat memprihatinkan. "Dalam kurun waktu 1995 sampai 2007 jumlah organisme penutup permukaan hutan Sumatera yang hilang mencapai 48 persen. Kini jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan hanya tersisa 30 persen saja. Itu pun telah digunakan untuk produksi kertas, kopi, dan kelapa sawit," ucap Desmarita.
Data dari WWF Indonesia menyebutkan, jumlah satwa di hutan Sumatera juga ikut menurun drastis. Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang ada di alam tinggal 400 ekor, sementara populasi badak sumatera kurang dari 300 ekor. Penurunan populasi juga terjadi pada orangutan dan gajah sumatera. Jumlah orangutan yang tersisa adalah 6.500 ekor dan populasi gajah 2.400-2.800 ekor.
Desmarita mengatakan, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan masyarakat kota untuk menyelamatkan hutan Sumatera. "Masyarakat harus bisa menghemat dan mengurangi konsumsi produk yang menghilangkan habitat hidup, misalnya mengurangi penggunaan kertas. Alasannya, satu rim kertas telah mengorbankan dua meter persegi hutan alam serta merusak habitat harimau, gajah, dan orangutan di Sumatera," paparnya.
Selain itu, lanjut Desmarita, cara lain yang bisa dilakukan masyarakat adalah dengan tidak memelihara satwa-satwa yang hampir punah. "Satwa seperti harimau dan orangutan tidak boleh dibeli masyarakat untuk dijadikan hewan peliharaan. Alam adalah rumah mereka," ujarnya.
Penghijauan kembali hutan Sumatera juga bisa menjadi alternatif tersendiri. Hutan yang gundul telah memengaruhi populasi secara umum. Tidak hanya satwa, manusia pun ikut mengalami dampak negatif penggundulan hutan. "Banjir, longsor, dan kebakaran hutan adalah contoh dampak negatif yang dirasakan manusia," kata Desmarita.
Menurutnya, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi menyelamatkan hutan Sumatera perlu ditingkatkan. "Masyarakat masih diliputi semangat perayaan ulang tahun kemerdekaan RI. Dengan semangat yang sama, ada baiknya masyarakat sadar bahwa kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tapi juga soal kepedulian terhadap lingkungan.

0

Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Barat

Sektor pertanian merupakan tulang punggung perekonomian Kalimantan Barat. Pada 2006 kontribusinya mencapai sekitar 27,25 % dari total nilai PDRB atas dasar harga berlaku. Sektor inilah yang menghasilkan nilai tambah, devisa daerah sekaligus membuka banyak sekali lapangan kerja, semua ini dapat dilihat dari luas sawah irigasi di sana yang mencapai 61,138 hal ditambah sawah non irigasi seluas 373.480 ha, Di sawah sawah itulah masyarakat di sana menanam palawija yang terdiri atas 37.743 ha ladang jagung dengan produksi 127.660 ton; 17.021 ha ubi kayu dengan produksi 24353 ton; 1.571 ha ubi jalar dengan produksi 12.364 ton; 2.492 ha kacang tanah dengan produksi 2.747 ton; 1.194 ha kacang kedelai dengan produksi 1.349 ton, dan 1.383 ha kacang hijau dengan produksi 966 ton.

Produksi sayur mayur juga melimpah. Lahan untuk ketimun saja mencapai 2.803 ha (20.317 ton), untuk sawi 2.561 ha (6.387 ton), untuk kacang panjang 2.448 ha (12.505 ton), untuk terung 171 ha (5.060 ton), untuk kangkung 1.259 ha (3.899 ton), untuk bayam 1.890 ha (2.480 ton), untuk bawang daun 340 ha (1.070 ton), untuk cabe 3.236 ha (7.888 ton), untuk tomat 318 ha (2.486 ton), dan untuk buncis disediakan lahan 411 ha dengan produksi 2.126 ton.

Dengan lahan luas dan subur Kalimantan Barat bertekad meningkatkan ketahanan pangan yang kuat untuk masyarakat. Ini dibuktikan dengan melimpahnya produk buah buahan di sana, mulai dari avokad (281 ton), belimbing (609 ton), duku/langsat (7.165 ton), durian (44.308 ton), jambu biji (2.016 ton), jeruk (145.129 ton), manggis (1.281 ton), mangga (2.666 ton), nangka/cempedak (15.201 ton), nanas (12.492 ton), pepaya (4.124 ton), pisang (96.834 ton), rambutan (41.001 ton), salak (2.963 ton), sawo (2,179 ton), sirsak (596 ton) hingga sukun (1.965 ton). Tentu saja dibutuhkan kerja keras untuk mencapai panen yang gemilang seperti itu. Provinsi ini, misalnya, memiliki saluran irigasi primer sepanjang 698 km, saluran irigasi sekunder sepanjang 2.182 km, dan saluran. irigasi tersier sepanjang 17.144 km pada 2006, meningkat dibanding 2005 yang hanya tersedia 633 km saluran irigasi primer, 1.484 km saluran irigasi sekunder dan 11.121 km saluran irigasi tersier. Dengan prestasi yang dicapainya itu, wajar jika Kalimantan Barat menjadi sebuah provinsi yang berswasembada pangan. Predikat ini dicapai melalui kerja keras dan kerjasama pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. Karena itu, sebagai penghargaan pemerintah terhadap keberhasilan ini, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono sampai menganugerahkan penghargaan di bidang ketahanan pangan kepada Gubenur Kalimantan Barat, H. Usman Ja’far, di Istana Bogor pada tanggal 21 Nopember 2006.

Di samping perkebunan, Kalimantan Barat juga memiliki potensi pembangunan yang besar di biding kehutanan. Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu pro ini yang ditetapkan sebagai "paru paru dunia" yang dikenal dengan "The Heart of Borneo”. Hutan hutan di Kalimantan Barat menyimpan kekayaan luar biasa, kawasan hutan cagar alamnya terhampar seluas 153.275 ha, belum termasuk hutan taman nasional yang luasnya mencapai 1.252.895 ha. Hutan wisata alamnya juga luas, mencapai 29.310 ha dan hutan lindungnya mencakup areal seluas 2.307.045 ha. Ada pun suaka alam lainnya mencapai 210.100 ha. Kawasan budidaya hutan meliputi hutan produksi terbatas seluas 2.445.985 ha, hutan produksi biasa 2.265.800 ha, dan hutan produksi konversi mencapai 514.350 ha.

Dari sektor kehutanan, Bumi Khatulistiwa ini pada tahun 2005 menghasilkan kayu sebanyak 450,030 m³. Ini belum termasuk produksi non kayu yang juga melimpah ruah, meliputi: arang rimba campuran di atas tanah seluas 309.875 ha; damar batu sebanyak 78 ton; rotan lacak sebanyak 16 ton, rotan cacing mencapai 3.689 ton, rotan semambu dengan jumlah 348.800 batang, rotan manau sejumlah 49.000 batang, rotan getah sebanyak 258 ton, rotan segak seberat 231 ton, kulit kayu gembor seberat 128 ton dan 57 ton gaharu buaya.

0

Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Barat

Sektor pertanian merupakan tulang punggung perekonomian Kalimantan Barat. Pada 2006 kontribusinya mencapai sekitar 27,25 % dari total nilai PDRB atas dasar harga berlaku. Sektor inilah yang menghasilkan nilai tambah, devisa daerah sekaligus membuka banyak sekali lapangan kerja, semua ini dapat dilihat dari luas sawah irigasi di sana yang mencapai 61,138 hal ditambah sawah non irigasi seluas 373.480 ha, Di sawah sawah itulah masyarakat di sana menanam palawija yang terdiri atas 37.743 ha ladang jagung dengan produksi 127.660 ton; 17.021 ha ubi kayu dengan produksi 24353 ton; 1.571 ha ubi jalar dengan produksi 12.364 ton; 2.492 ha kacang tanah dengan produksi 2.747 ton; 1.194 ha kacang kedelai dengan produksi 1.349 ton, dan 1.383 ha kacang hijau dengan produksi 966 ton.

Produksi sayur mayur juga melimpah. Lahan untuk ketimun saja mencapai 2.803 ha (20.317 ton), untuk sawi 2.561 ha (6.387 ton), untuk kacang panjang 2.448 ha (12.505 ton), untuk terung 171 ha (5.060 ton), untuk kangkung 1.259 ha (3.899 ton), untuk bayam 1.890 ha (2.480 ton), untuk bawang daun 340 ha (1.070 ton), untuk cabe 3.236 ha (7.888 ton), untuk tomat 318 ha (2.486 ton), dan untuk buncis disediakan lahan 411 ha dengan produksi 2.126 ton.

Dengan lahan luas dan subur Kalimantan Barat bertekad meningkatkan ketahanan pangan yang kuat untuk masyarakat. Ini dibuktikan dengan melimpahnya produk buah buahan di sana, mulai dari avokad (281 ton), belimbing (609 ton), duku/langsat (7.165 ton), durian (44.308 ton), jambu biji (2.016 ton), jeruk (145.129 ton), manggis (1.281 ton), mangga (2.666 ton), nangka/cempedak (15.201 ton), nanas (12.492 ton), pepaya (4.124 ton), pisang (96.834 ton), rambutan (41.001 ton), salak (2.963 ton), sawo (2,179 ton), sirsak (596 ton) hingga sukun (1.965 ton). Tentu saja dibutuhkan kerja keras untuk mencapai panen yang gemilang seperti itu. Provinsi ini, misalnya, memiliki saluran irigasi primer sepanjang 698 km, saluran irigasi sekunder sepanjang 2.182 km, dan saluran. irigasi tersier sepanjang 17.144 km pada 2006, meningkat dibanding 2005 yang hanya tersedia 633 km saluran irigasi primer, 1.484 km saluran irigasi sekunder dan 11.121 km saluran irigasi tersier. Dengan prestasi yang dicapainya itu, wajar jika Kalimantan Barat menjadi sebuah provinsi yang berswasembada pangan. Predikat ini dicapai melalui kerja keras dan kerjasama pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. Karena itu, sebagai penghargaan pemerintah terhadap keberhasilan ini, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono sampai menganugerahkan penghargaan di bidang ketahanan pangan kepada Gubenur Kalimantan Barat, H. Usman Ja’far, di Istana Bogor pada tanggal 21 Nopember 2006.

Di samping perkebunan, Kalimantan Barat juga memiliki potensi pembangunan yang besar di biding kehutanan. Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu pro ini yang ditetapkan sebagai "paru paru dunia" yang dikenal dengan "The Heart of Borneo”. Hutan hutan di Kalimantan Barat menyimpan kekayaan luar biasa, kawasan hutan cagar alamnya terhampar seluas 153.275 ha, belum termasuk hutan taman nasional yang luasnya mencapai 1.252.895 ha. Hutan wisata alamnya juga luas, mencapai 29.310 ha dan hutan lindungnya mencakup areal seluas 2.307.045 ha. Ada pun suaka alam lainnya mencapai 210.100 ha. Kawasan budidaya hutan meliputi hutan produksi terbatas seluas 2.445.985 ha, hutan produksi biasa 2.265.800 ha, dan hutan produksi konversi mencapai 514.350 ha.

Dari sektor kehutanan, Bumi Khatulistiwa ini pada tahun 2005 menghasilkan kayu sebanyak 450,030 m³. Ini belum termasuk produksi non kayu yang juga melimpah ruah, meliputi: arang rimba campuran di atas tanah seluas 309.875 ha; damar batu sebanyak 78 ton; rotan lacak sebanyak 16 ton, rotan cacing mencapai 3.689 ton, rotan semambu dengan jumlah 348.800 batang, rotan manau sejumlah 49.000 batang, rotan getah sebanyak 258 ton, rotan segak seberat 231 ton, kulit kayu gembor seberat 128 ton dan 57 ton gaharu buaya.

0

KERUSAKAN HUTAN KALIMANTA SELATAN 1,174 JUTA HEKTAR /TAHUN

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta mengatakan, kerusakan lingkungan di Kalimantan Selatan semakin memprihatinkan sehingga dikhawatirkan banjir besar akan mengancam daerah seribu sungai ini.

"Dalam 15 tahun terakhir permasalahan lingkungan di Kalsel sangat memprihatinkan, akibat kerusakan hutan, pencemaran air dan pencemaran udara yang semakin tidak terkendali," katanya.

Menurut Hatta dalam kunjungan kerja ke Banjarmasin, Jumat (27/11) tingkat laju kerusakan hutan akibat alih fungsi lahan, perambahan dan akibat kebakaran hutan pada periode 2003-2007 mencapai 1,174 juta hektar per tahun.

0
Kamis, 17 Desember 2009

KAWASAN HUTAN KALIMANTAN TIMUR
Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Timur yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 adalah seluas ± 14.651.553 Ha.

Kawasan hutan ini terdiri dari kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi dengan perincian luas sebagai berikut :
Fungsi Kawasan Luas (Ha) Persen luas (%)
Kawasan Hutan Konservasi ± 2. 165.198 ha 14,78
Kawasan Hutan Lindung (HL) ± 2.751.702 ha 18,78
Kawasan Hutan Produksi ± 9.734.653 ha 66,44
o Hutan Produksi Terbatas (HPT) ± 4.612.965ha 31,48
o Hutan Produksi Tetap (HP) ± 5.121.688 ha 34,96
Luas Keseluruhan ± 14.651.553 ha 100

Kawasan Konservasi

Hutan Konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Kawasan Konservasi terdiri dari Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TW), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Buru (TB).

Di Propinsi Kalimantan Timur, Hutan Konservasi yang telah ditunjuk dan ditetapkan adalah sejumlah 3 unit Cagar Alam, 1 unit Suaka Margasatwa (Laut), 2 unit Taman Nasional dan 2 unit Taman Wisata (satu diantaranya TW Laut) seperti rincian pada tabel berikut :
Tabel.1 Kawasan Konservasi di Kalimantan Timur
No. Nama Kawasan, Kabupaten, Fungsi, Luas (ha), SK Penetapan
1 Muara Kaman Sedulang, Kutai, CA, 62.500, 290/Kpts/Um/5/1976, 5 Oktober 1976
2 Padang Luwai, Kutai, CA, 5.000, 792/Kpts/Um/10/1982, 29 Oktober 1982
3 Ampar, CA, 46.900, 86/Kpts-II/1993, 16 Pebruari 1993
4. Pulau Semama, Berau, SM(L), 220, 604/Kpts/Um/8/1982, 19 Agustus 1982
5. Kutai, Kutai , TN, 198.629, 325/Kpts-II/95, 29 Juni 1995
6. Kayan Mentarang, Bulungan, TN, 1.360.500, 631/Kpts-II/1996, 7 Oktober 1996
7. Bukit Soeharto, Samarinda, TW, 61.850, 242/Kpts-II/1988, 1 Januari 1988
8. Pulau Sangalaki, Berau, TW (L), 280, 604/Kpts/Um/8/1982, 19 Agustus 1982

0

HUTAN

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.

Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.

Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.

Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.

Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.

0
Senin, 07 Desember 2009

Reboisasi adalah penanaman hutan yang sudah gundul. Yaitu dengan cara menanam bibit pohon agar hutan tersebut tidak selamanya gundul.Pemerintah Republik Indonesia telah menjalankan proyek yaitu tanam seribu pohon, berguna untuk menggurangi erosi, polusi, bencana alam dll. di pulau jawa hutan sudah jarang ditemukan lagi dekat piggiran kota. Dikarenakan hutan telah habis untuk bahan baku dan tanah tersebut telah dijadikan untuk pemukiman penduduk untuk mengais rezeki dikota tersebut.
Lain halnya dengan hutan yang ada di kalimantan, Yaitu kalimantan timur adalah wilayah yang 70% masih mempunyai hutn rimba yang sangat lebat.Tetapi dengan adanya perkembangan jaman, hutan kalimantan timur telah rusak ribuan hektar akibat ilega logging oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Padahal Indonesia dikenal dengan yaitu paru paru dunia akibat hutan yang sangat lebat.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999
TENTANG
PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN
PADA HUTAN PRODUKSI



U M U M
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan alam berupa sumber daya hutan tropis yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional untuk dimanfaatkan secara optimal, adil, merata dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan hidup serta kehidupan manusia pada umumnya.
Sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui tetapi rentan terhadap berbagai pengaruh campur tangan manusia serta mempunyai kaitan-kaitan secara horizontal dan vertikal, kaitan-kaitan ke depan dan ke belakang serta kaitan-kaitan dengan alam sekitar maka pengelolaannya harus terintegrasi dengan pengelolaan sumber daya alam lainnya sehingga terwujud pembangunan nasional berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.

Bentuk pemanfaatan hutan yang berupa pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan perlu dilakukan secara rasional, terencana, optimal dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukungnya serta dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup sehingga manfaat yang diperoleh optimal, efektif dan efisien baik manfaat ekonomi, manfaat ekologi maupun manfaat sosialnya.

Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang mengatur pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan, khususnya dalam Pasal 13 dan Pasal 14, maka pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat karena besarnya minat pelaku ekonomi dan besarnya peluang pasar.

Namun mengingat bahwa kandungan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 terhadap kepentingan masyarakat kecil, menengah dan koperasi belum nyata maka perkembangan pengusahaan hutan lebih mengarah pada pembentukan usaha-usaha besar. Sedangkan perhatian kepada pembangunan ekonomi rakyat tidak berjalan dengan lancar.

Untuk itu pemberdayaan ekonomi rakyat khususnya masyarakat di sekitar hutan, peranan koperasi, usaha kecil dan menengah perlu diberikan perhatian yang lebih nyata.
Dalam upaya memberdayakan hak yang didasarkan pada adat, maka apabila di dalam kawasan hutan sepanjang menurut kenyataannya masih terdapat masyarakat komunitas hukum adat dan anggota-anggotanya, akan diakui keberadaannya, serta mempunyai hak untuk dapat diberikan hak pengusahaan hutan dan hak pemungutan hasil hutan di dalam kawasan hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk menggunakan hak tersebut masyarakat hukum adat dapat membentuk kelompok usaha dalam wadah koperasi dan cara
pelaksanaan haknya tunduk pada ketentuan-ketentuan hak pengusahaan hutan atau hak pemungutan hasil hutan.

Bahwa berbeda dengan kewajiban pemegang Hak Pengusahaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 yaitu wajib mendirikan industri pengolahan kayu, maka pemegang Hak Pengusahaan Hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak harus mendirikan dan atau memiliki industri pengolahan kayu.
Oleh karena itu guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan yang berkeadilan tersebut, maka perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

PASAL DEMI PASAL
Pasal 1

Angka 1
Hutan dalam Peraturan Pemerintah ini diartikan sebagai suatu lapangan yang cukup luas, bertumbuhan kayu, bambu dan atau palem yang bersama-sama dengan tanahnya, beserta isinya baik berupa nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan dan atau manfaat-manfaat lainnya secara lestari.
Luas minimum lapangan yang bertumbuhan itu adalah seperempat hektar, sebab hutan seluas itu sudah dapat mencapai suatu keseimbangan persekutuan hidup yang diperlukan, sehingga mampu memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan, pengaturan tata air, pengaruh terhadap iklim dan lain sebagainya.

Angka 2

Cukup jelas

Angka 3

Yang dimaksud dengan hasil hutan adalah hasil-hasil yang diperoleh dari hutan yang berupa:
a. Hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan dan lain-lain serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, termasuk hasil yang berupa minyak atsiri.
b. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya.
c. Benda-benda lain yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan antara lain : berupa sumber air (water yield), udara bersih dan lain-lain yang tidak termasuk bahan tambang.
d. Jasa yang diperoleh dari laut antara lain berupa : jasa wisata, jasa keindahan, keunikan, jasa perburuan dan lain-lain.

Angka 4

Menteri memberi putusan dalam hal terhadap keragu-raguan apakah lapangan itu adalah hutan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Angka 5

Cukup jelas

Angka 6

Cukup jelas

Angka 7
Cukup jelas

Angka 8

Pengaturan kegiatan yang berkaitan dengan pengolahan dan pemasaran hasil hutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dan perdagangan.
Angka 9

Cukup jelas

Angka 10
Cukup jelas

Angka 11

Cukup jelas

Angka 12

Cukup jelas

Angka 13

Cukup jelas

Angka 14

Cukup jelas

Angka 15

Cukup jelas

Angka 16

Cukup jelas

Angka 17

Cukup jelas

Angka 18

Cukup jelas

Angka 19

Cukup jelas

Angka 20

Cukup jelas

Angka 21

Cukup jelas

Angka 22

Cukup jelas

Angka 23

Yang dimaksud dengan koperasi adalah koperasi yang bergerak di bidang pengusahaan hutan.

Angka 24

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Yang dapat dijadikan obyek penawaran dalam pelelangan atau permohonan adalah hutan produksi yang belum dibebani hak atau areal bekas Hak Pengusahaan Hutan yang telah berakhir dan tidak diperpanjang atau dicabut.
Apabila penawaran dalam pelelangan atau permohonan dilaksanakan oleh koperasi, usaha kecil dan menengah setempat, agar mendapatkan kesempatan yang sama dengan yang lainnya, maka dapat dibantu oleh Lembaga Swadaya dan dibina oleh Pemerintah.
Ayat (2)

Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan luas dibawah 50.000 (lima puluh ribu) hektar dengan cara permohonan tersebut merupakan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)

o Batas maksimum ditetapkan dengan maksud untuk lebih menjamin asas keadilan dan pemerataan khususnya bagi koperasi, usaha kecil dan menengah.
o Mengingat keadaan hutan dan lapangan serta aksesibilitas areal maka untuk Propinsi Irian Jaya luas maksimum setiap pemegang hak adalah 200.000 (dua ratus ribu) hektar.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)

huruf c

Koperasi yang diberikan Hak Pengusahaan Hutan adalah koperasi yang dibentuk oleh masyarakat di sekitar hutan. Hak Pengusahaan Hutan yang diberikan kepada masyarakat setempat melalui koperasinya dapat disebut Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan. Sedang perusahaan swasta nasional adalah berbentuk Perseroan Terbatas.
Ayat (2)

Lihat penjelasan Pasal 10 ayat (1)
Pasal 11

Ayat (1)

Pendapat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berupa pertimbangan-pertimbangan tentang pengusahaan hutan yang berkaitan dengan rencana pengembangan wilayah.
Ayat (2)

Apabila Gubernur mendapat pelimpahan wewenang dari Menteri, maka penandatanganan pemberian Hak Pengusahaan Hutan dilakukan oleh Gubernur atas nama Menteri.
Ayat (3)

Ketentuan lebih lanjut yang akan diatur oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain mengatur tentang kriteria.
Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Yang dimaksud dengan hak yang sudah ada sebelumnya adalah Hak Pengusahaan Hutan dan hak-hak lain di luar sektor kehutanan.
Pasal 14
Ayat (1)
Tanaman yang dimaksud dalam ayat ini termasuk tanaman perkayaan dalam sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia.
Ayat (2)
Hak Pengusahaan Hutan dimaksudkan untuk memberikan hak untuk mengusahakan hutan dan tidak termasuk memberikan hak kepemilikan atau penguasaan atas tanah.
Pasal 15

Ayat (1)
Apabila tanaman terdiri lebih dari satu jenis maka perhitungan daur didasarkan pada daur tanaman yang memiliki luas dan atau nilai ekonomis dominan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila Hak Pengusahaan Hutan telah berakhir dan kinerjanya jelek, maka:

o sepanjang bekas areal tersebut diatas 50.000 (lima puluh ribu) hektar dapat diberikan pada perusahaan lain dengan cara pelelangan;
o dan sepanjang bekas areal tersebut dibawah 50.000 (lima puluh ribu) hektar dapat diberikan dengan cara permohonan.
Apabila Hak Pengusahaan Hutan telah berakhir dan kinerjanya jelek, maka sepanjang areal tersebut diatas 100.000 (seratus ribu) hektar dalam satu propinsi, maka bekas areal tersebut dapat diberikan kepada perusahaan lain dengan batasan luas maksimum sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

Ayat (4)

Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, pemeliharaan tanaman, sampai pada pemanenan atau penebangannya.
Dalam rangka melaksanakan sistem silvikultur, pemegang hak dimungkinkan menggunakan sistem tumpangsari, sistem tanaman di bawah tegakan atau sistem tanaman ganda (multi croping) yang lain yang dilaksanakan masyarakat di sekitar atau di dalam hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
huruf c
Dana Reboisasi hanya dipungut atas hasil hutan kayu pada hutan alam. Untuk keperluan bantuan bencana alam dan keperluan sosial dimana kayu-kayu tersebut tidak untuk diperdagangkan, maka atas Hasil Hutan yang berupa kayu Menteri dapat membebaskan pembebanan pembayaran Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan.
Disamping membayar pungutan tersebut, maka pemegang hak juga wajib membayar Pajak Bumi Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pungutan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi tersebut dikenakan atas produksi kayu yang ditebang di hutan di Tempat Pengumpulan Kayu (TPN).
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Alokasi Dana Jaminan Kinerja Pengusahaan Hutan dilaksanakan dengan membekukan sejumlah dana yang ditentukan pada suatu Bank dan dapat dicairkan kembali beserta bunganya apabila dalam penilaian ternyata pengelolaannya dilaksanakan dengan baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
huruf a
Dalam menyusun RKPH agar mengikut sertakan masyarakat setempat.
huruf e
Penataan hutan dengan kopertamenisasi adalah kegiatan pembagian areal kerja Hak Pengusahaan Hutan dalam blok-blok dan petak-petak dengan perlakuan-perlakuan tertentu untuk tujuan pendataan dalam pengusahaan hutan selanjutnya.
huruf i
Dalam melaksanakan pembangunan masyarakat desa hutan, perusahaan menyisihkan dana tertentu didalam anggaran perusahaannya sendiri untuk keperluan tersebut.
huruf j
Kegiatan nyata di lapangan adalah meliputi : kegiatan pengusahaan hutan, memasukkan peralatan eksploitasi hutan, pembangunan prasarana pengusahaan hutan yang berupa jaringan jalan hutan, koridor, base camp dan lain-lain.
huruf k
Yang dimaksud dengan 50% dari tanaman adalah:
5 (th)
50% x --------- x luas areal (Ha)
daur (th)
huruf m
Yang dimaksud tenaga profesional adalah tenaga yang mampu untuk melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan antara lain : Sarja Kehutanan dan tenaga teknis kehutanan menengah yang meliputi
lulusan SKMA, Diploma Kehutanan serta tenaga-tenaga hasil pendidikan dan latihan kehutanan antara lain : penguji (grader), penjelajah (cruiser), pengukur (scaler).
Yang dimaksud tenaga lain antara lain adalah tenaga ahli/sarjana dibidang lingkungan, sosial, ekonomi dan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
��Memindahtangankan Hak Pengusahaan Hutan diartikan antara lain:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah.
��Memindahtangankan Hak Pengusahaan Hutan hanya terbatas pada hak pengusahaannya saja.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tegakan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman dapat dijaminkan karena merupakan asset perusahaan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
huruf d
Yang dimaksud dengan untuk kepentingan umum adalah kepentingan nasional atau masyarakat banyak seperti tempat pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, penelitian atau untuk latihan militer.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
huruf c
Pemerintah tidak bertanggung jawab terhadap segala akibat yang terjadi di perusahaan, disebabkan hapusnya Hak Pengusahaan Hutan karena sanksi atau karena dikembalikan kepada
Pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perorangan adalah perorangan yang membentuk usaha dagang atau perusahaan dagang.
Ayat (3)
Hak Pemungutan Hasil Hutan yang diberikan kepada Bupati Kepala DaerahTingkat II adalah Hak Pemungutan Hasil Hutan yang berupa kayu.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Mengingat Hak Pemungutan Hasil Hutan pada prinsipnya diberikan berdasarkan volume atas hasil hutan, maka untuk memudahkan didalam pengawasan dan pengendaliannya izin diberikan 1 (satu) tahun.
Karena untuk memenuhi kebutuhan setempat maka luas dibatasi maksimum 100 (seratus) hektar dengan anggapan bahwa setiap 100 (seratus) hektar akan menghasilkan +3.000 (tiga ribu) m3.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Atas kayu yang dipergunakan untuk keperluan bantuan bencana alam dan keperluan sosial dimana kayu-kayu tersebut tidak untuk diperdagangkan yang diambil dari areal Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan tidak dikenai Dana Rebosasi dan Provisi Sumber Daya Hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan diberikan prioritas untuk berperan seluas-luasnya antara lain adalah dalam bentuk pemberian kesempatan kepada masyarakat di dalam kegiatan pengusahaan hutan yang meliputi kegiatan : penyaradan, pengulitan, perakitan dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Yang dimaksud dengan kemudahan dalam pelayanan dan keringanan persyaratan adalah kemudahan dalam pelayanan administrasi dan keringanan dalam pembobotan persyaratan pelelangan.
Pasal 33
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal ini didasarkan pada bobot pelanggarannya.
Pelanggaran yang termasuk kategori berat dikenakan sanksi pencabutan, apabila termasuk dalam kategori sedang dikenakan sanksi pengurangan luas areal, sedangkan untuk pelanggaran dalam kategori ringan dikenakan sanksi denda.
Untuk mewujudkan asas umum pemerintahan yang baik, sebelum pengenaan sanksi berat dan sedang kepada pemegang hak wajib diberikan peringatan tiga kali berturut-turut.
Pasal 34
Ayat (1)
huruf d
Yang dimaksud dengan pemegang Hak Pengusahaan Hutan meninggalkan areal dan pekerjaannya sebelum hak berakhir adalah:
a. Alat-alat eksploitasi tidak ada atau tidak berfungsi di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan, atau
b. Tenaga kerja tetap tidak terdapat di dalam areal kerja Hak Pengusahaan Hutan, atau
c. Kegiatan pengusahaan hutan seperti penebangan, permudaan dan pemeliharaan tidak dilakukan di dalam areal kerja.

huruf e

Yang dimaksud dengan merusak lingkungan adalah perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang diancam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
Yang dimaksud dengan merusak fungsi konservasi adalah perbuatan yang mengakibatkan kerusakan konservasi yang diancam dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan menyerahkan seluruh kegiatan pengusahaan hutan adalah apabila pemegang hak tidak membiayai dan melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan tersebut tetapi hanya menerima imbalan (fee) atas kegiatan penyerahan tersebut.
huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Lihat penjelasan Pasal 15 ayat (3)
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas

Hukuman Adat Bagi Perampas Tanah dan Hutan

Seperti biasanya koorporasi (perusahaan) besar dan padat modal, selalu menggusur lahan warga tanpa harus pamit. Apalagi mereka telah memegang izin dari pemerintah setempat. Mereka selalu beranggapan setiap jengkal tanah adalah milik pemerintah. Tanpa menyadari ribuan tahun sebelum adanya pemerintahan tanah-tanah itu dimiliki oleh masyarakat adat. Setelah adanya Negara, tanah milik masyarakat adat itu mestinya diakui, karena mereka juga warga Negara yang perlu diakui hak-haknya. Tapi entah mengapa pemrintah lebih suka memberikannya kepada orang lain, ketimbang digarap warganya sendiri.

Hal itulah yang dialami warga Kampung Tembiruhan, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang Kaliman-tan Barat. Sore itu Luntur (38), warga Tembiruhan, sedang berada di Lakau (ladang). Ia merasakan sesuatu yang tidak biasa, tanah bergetar, pepohonan bergoyang dan terdengar suara mesin raksasa. Luntur mendekati sumber suara itu, getaran keras itu ternyata dari sebuah buldozer yang sedang menyapu bersih lakau muda ( bekas ladang yang masih muda) di perbatasan Kampung Tembiruhan dan Kampung Sumanjawat.

Alat berat ini diketahui milik sebuah perusahaan kelapa sawit. Padahal Masyarakat Dayak setempat tidak pernah menerima kehadiran perkebunan kelapa sawit di kampung mereka. Luntur yang kaget adanya penggusuran liar ini menemui Terukun (44) warga Kampung Tembiruhan. Berdua mereka bergegas memberitahu orang kampung dan Ketua RT setempat.

Mendengar adanya penggusuran liar di kampung mereka , sejumlah warga dari Tembiruhan, terdiri dari Damung Adat, Kepala Dusun, pemuda, serta para tokoh adat langsung menuju lokasi yang digusur. Mereka langsung menghentikan penggusuran dan menahan buldozer. “Kami menuntut perusahaan atas perlakuan biadab asal gusur seperti ini,” tegas Bidau, Damong Adat Tembiruhan yang juga berada di lokasi. Lalu mereka menyita kunci buldozer untuk dijadikan alat bukti yang ternyata milik PT Fangiono Agro Plantation, sebuah perusahaan perkebunan sawit.

Pada hari itu hukuman adat pun dijatuhkan ke perusahaan yaitu hukum adat Tanggul Tanah Arai yaitu hukuman karena merusak hutan, tanah dan air. Hukuman tersebut terdiri dari 1 buah kelinang, 1 buah ketawak (gong), kain sekayuq, tombak sepucuq serta 1 buah tajau (tempayan). Pihak perusahaan diwakili Humasnya, Aling, , yang menerima sangsi adat sepakat membayar esok harinya, 10 September 2008.

Pada tanggal yang dijanjikan, PT Fangiono membangkang, pihak perusahaan malah mendatangkan pihak Camat, Kapolsek, Danramil serta sejumlah anggota polisi untuk menggertak warga. Tapi Masyarakat Adat Tembiruhan sama sekali tidak gentar. “Siapa pun yang datang hukum tetap ditegakkan,” kata Bidau. Hal senada diutarakan, Asmano, Kepala Desa Tembiruhan. “Silakan mereka datang bersama siapa saja, sedikit pun kami tidak merasa takut karena kami menuntut hak dan kami berada di pihak yang benar,” tambahnya.

Sebagaimana dituturkan warga pada Majalah Kalimantan Review (KR), kehadiran ’armada’ PT Fangiono bersama antek-anteknya tidak berpengaruh karena masyarakat teguh dengan pendirian serta sikap menolak kehadiran perusa-haan apa pun di wilayah adat mereka. Melihat masyarakat yang teguh pada pendiriannya, pihak perusahaan terpaksa mengalah dan berjanji akan membayar denda adat tanggal 13 September 2008.

Akhirnya pihak perusahaan bersama orang-orang bayarannya kembali ke kecamatan tanpa bisa berbuat banyak. Pada tanggal 13 September PT Fangiono melalui Aling menepati janjinya karena warga mengancam menggandakan hukuman lebih berat bila ingkar janji tak. Aling menyerahkan denda adat kepada Damong Adat Tembiruhan. Setelah kejadian tersebut, kampung yang telah beberapa kali melakukan penolakan ini tidak pernah lagi diganggu atau diusik perusahaan.

“Wilayah adat kami sudah sempit, tanah yang ada kami pakai untuk berladang dan berkebun karet, jadi jangan coba-coba mengusik wilayah kami. Kami akan berjuang mempertahankan wilayah adat kami sampai mati,” sergah Bidau.

Hukuman adat juga dijatuhkan terhadap PT. Agra Mas. Perusahaan pertambangan biji besi ini diganjar adat karena memasuki lahan milik warga tanpa izin. Hari itu di hutan Bukit Bebasian, Kampung Teluk Runjai dimasuki orang tak dikenal ditemani warga kampung setempat. Warga lain yang curiga langsung membututi orang asing itu, yang dibuntuti ternyata tim survey PT. Agra Mas yang berencana melakukan kegiatan pertambagan.
Warga mendapati tim survey sedang memancang patok di lahan seorang warga. Pemilik lahan langsung menyita peralatan survey dan melaporkannya kepada Damung Adat dan Ketua RT setempat.

Setelah dilakukan sidang adat, perusahaan tambang biji besi itu dijatuhi pasal berlapis. Kesalahan utama perusahaan ini adat merusak dan tanpa pamit. Hukum adat merusak lebih dikenal dengan Pancung Papat Pajuh Bilai dan hukum adat masuk tanpa permisi adalah Langkah Batang Lampat Tunggul.

Pelanggaran Hukum Adat ini dituntut sebesar 15 di atas, pertama, 1 buah Tajau (tempayan) ditambah 2 buah piring. Kedua terkena hukuman Pancung Papat pajuh Bilai yaitu hukum-an yang diberikan kepada orang atau sekelompok orang karena telah meru-sak tanaman dan tumbuhan, dendanya sama dengan yang pertama. Hukuman ketiga adalah melanggar adat Kampung Tanjung. Adat yang ketiga ini sebesar 1 lasak (1 buah tajau) yang menjadi hak benuaq (kampung). Keempat, akibat perusakan hutan tanah dan kerugian yang dialami Bayer selaku pemilik lahan, maka PT Agra Mas juga dituntut denda adat senilai kerugian yang ditimbulkannya.
badri

REBOISASI HUTAN

Followers